Minggir Lu Bego !

Sebenarnya peristiwa ini bukanlah yang pertama kali aku alami di Jakarta ini. Semenjak petama kali menginjakkan kaki di ibukota ini memang sudah banyak hal-hal yang berada di luar nalar kita, senyatanya menjadi realitas keseharian. Tetapi untungnya aku selalu punya cara untuk bertahan dalam idealisme. Setidaknya hingga saat ini.

Kemaren sore, sepulang dari kantor seperti biasa aku pulang mengendarai hondawe, motor tercintaku yang sudah 2 tahun menemaniku di jakarta ini. Sore itu pukul 17.00, tapi matahari masih terik. Suasana jalanan lebih lengang dari biasanya. Mungkin karena hari itu adalah tanggal 23 ramadhan, jadi sebagian orang di jakarta sudah mulai mudik ke kampung halamannya masing-masing untuk merayakan lebaran.

Sesampainya di pertigaan Podomoro (arah ke yos sudarso), di sana ada traffic light, maka aku pun berhenti. Kali ini karena tidak terlalu rame, maka aku pun senang bisa nyaman untuk tertib berada di belakang garis putih. Sebab di jakarta ini sudah bukan rahasia lagi kalau orang-orang terpelajar yang naik motor maupun mobil itu tidak ngerti kalo lampu merah itu harus berhenti dan berada di belakang garis putih. Rata-rata selalu melebih garis putih. Bahkan untuk perempatan besar, seperti di perempatan ITC Cempaka Mas pasti motor-motor sudah berjajar di tengah-tengah perempatan, meskipun lampu masih merah. Namun sore ini beda. Aku pun lebih nyaman di belakang garis putih. Di samping kananku ada Avanza yang juga melakukan hal yang sama. Aku lihat traffic light sebelah kanan bertanda merah, artinya harus berhenti. Sedangkan traffic light sebelah kiri, menyala lampu hijau, artinya mobil yang mau lurus, boleh jalan terus.

Maka aku pun berada di sisi kanan jalan. Tiba-tiba di sebelah kanan belakangku terdengar suara klakson..”tiiin..tiiiin, tiiiin..tiiiin” Aku pun spontan menoleh ke belakang. Kulihat Lexus berwarna silver, berada di belakangku. Aku diam saja, karena merasa posisiku adalah benar. Ternyata dia masih saja mengklakson.”tiiiiiiiiin..tiiiiiiiiiiiiiiiiiin...” Aku pun menengok lagi ke belakang, kali ini kulihat kaca sopirnya terbuka dan ada sesosok manusia tampak di sana. Aku sedikit berubah pikiran, ah barangkali dia mau lurus, tapi susah jalan terus karena terhalang motorku, begitu pikirku. Meskipun aku lirik di sebelah kiri, sebenarnya masih cukup untuk jalan sebuah sedan. Tapi ya sudah lah, aku terpaksa mengalah, dan dengan terpaksa maju sedikit melewati garis putih.

Tapi ternyata dugaanku salah, Lexus itu tiba-tiba menyalipku dari kiri dan berbelok ke kanan tepat di depanku, padahal lampu masih merah, dan kulihat bapak-bapak paruh baya, berkulit bersih, berkumis tipis, mengeluarkan kepalanya dan berkata..”minggir lu bego!

Ada perasaan lain yang menelusup pada saat itu di benakku. Ada sebersit kekagetan, kejengkelan, dan mungkin bibit kemarahan. Siapa yang bego sebenarnya dalam situasi yang seperti ini?!!??!.. Defence mechanism-ku pun mulai bekerja. Aku berpikir di antara orang-orang yang tidak disiplin, maka orang yang disiplin adalah bego. Diantara orang-orang yang tidak normal, maka orang yang normal adalah tidak normal. Saya jadi berpikir, jangan-jangan saya memang sedang jadi orang bego dan tidak normal dalam situasi seperti itu. Saya jadi teringat cerita Jaya Suprana dalam salah satu seminarnya. Dia bercerita bahwa ketika hidup di Jerman, dia jauh lebih tertib daripada hidup di Indonesia. ”Bayangkan saja, jam 12 malam naik mobil sendirian, ada traffic light menyala lampu merah. Kira-kira apa yang akan anda lakukan? Apa yang saya lakukan saat itu? Tanyanya lagi. Saya berhenti.” Tapi saya akan jadi orang bego kalo itu saya lakukan di Jakarta. Begitu kata Jaya Suprana.

Mungkin itulah yang sedang dan sering terjadi padaku di Jakarta ini. Naif dan bego lebih tepatnya. Tapi mungkin ini bagian dari keyakinanku bahwa manusia itu bisa berubah, dan manusia berpotensi menciptakan budaya. Betapa kecil hal yang dilakukan, jika konsisten dilakukan maka akan mejadi kebiasaan. Jika kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan secara masif dan kolektif, maka terjadilah tradisi. Jika tradisi dipertahankan, maka itulah budaya. Jika budaya dikembangkan itulah peradaban. Jepang punya budaya malu yang terus bertahan hingga saat ini, ekspresinya bermacam-macam. Mulai dari mengundurkan diri, hingga bunuh diri. Singapura punya budaya taat aturan. Terlepas bahwa keteraturannya merupakan product dari diktatorisme gaya baru, tapi kenyataannya rakyat singapura fine-fine saja dengan budaya itu. Bagaimana dengan bangsa kita?

Maju tidaknya sebuah bangsa ditentukan dari peradabannya, baik melalui simbol-simbol fisik maupun tata nilai yang berlaku. Bangsa Indonesia mungkin belum menjadi bangsa besar, meskipun potensi itu sesungguhnya ada. Karena bangsa yang besar butuh orang-orang besar. Bukan orang-orang yang kerdil yang mengecilkan arti dirinya dengan melakukan tindakan-tindakan kerdil. Kita butuh orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang (meskipun) kecil tapi dilakukan dengan cara-cara yang besar dan elegan. Melekatnya gelar Doktor tidaklah bernilai apa-apa jika desertasinya diperoleh dari hasil contek sana contek sini. Menjadi pejabat negara atau anggota dewan juga bukanlah sesuatu yang membanggakan, jika masih menerima uang suap dari rekanan. Barangkali masih lebih terhormat menjadi tukang sapu jalanan yang rajin dan jujur.

Saya tidak ingin pesimis dalam memandang dunia di sekitar kita. Tapi momen itu menyadarkan bahwa seperti inilah realitas yang sedang terjadi, dan mau tidak mau harus dijalani. Bagaimana cara kita mendidik anak kita dengan values yang baik, sementara kita sendiri belum baik? Dan jika pun kita sudah baik, bagaimana pula jika lingkungan sekitar tidak baik? Itu kekhawatiran yang selalu menggelayut dalam pikiranku. Kita bisa bilang,”nak,kalo lampu merah menyala itu artinya kita harus berhenti di belakang garis putih”. Tapi tiba-tiba di samping kita ada kendaraan melaju, sambil bilang..”minggir lu bego!”. Apa yang akan kita sampaikan pada anak kita pada saat itu?

Mungkin kita mesti banyak bercermin, dan membenahi dari hal-hal yang kecil, jika ingin membangun peradaban besar. Saya yakin kita sebagai entitas, baik pribadi, kelompok, maupun bangsa ini, masih bisa! Innallaha la yughoyiru ma bi qoumin, hatta tattabi’ millatahum...Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya..

Wallahua’lam bishawab

Comments

Popular Posts