Kebermaknaan Hidup

Dengan penuh semangat Tony menceritakan pengalaman liburannya pada Dony. Liburan kemaren ia diajak oleh orang tuanya ke rumah Nenek dan Kakeknya di desa. Anak ini begitu antusias menceritakan segala pengalamannya di sana.

“Don, tau nggak. Liburanku kemaren tuh seru abiss..!” ungkap Tony penuh semangat.

“Oya? Tanya Dony.

“Iya, Don aku diajak berkeliling lihat sawah, maen lumpur disana. Udah gitu kita mandiin kerbau juga di sungai. Siang harinya aku main layang-layang sama sepupuku. Seru banget Don. Kita lari-larian ke sana kemari mengejar layangan yang sempet putus. Esok harinya aku diajak mancing ikan sama Pamanku, Wuiih,.. biarpun masih pemula aku bisa dapet 3 ekor. Kapan-kapan kalau liburan lagi aku mau mencobanya lagi. Kamu sendiri kemana Don?” Tanya Tony tiba-tiba

“Aku seperti biasa Ton. Mama-papa ngajakin liburan ke Singapura. Ke universal studio, naik kapal pesiar. Trus foto-foto di patung Singa.” Jawa Tony datar.

“Waaah..keren, seru tuh, trus..trus..

“Ya, gitu aja Ton. Tidak ada yg istimewa. Tiap liburan kita sekeluarga pasti ke sana. Tempatnya juga itu-itu saja. Tidak ada yang berubah. Aku sudah belasan kali ke Singapura..

“Wah sayang sekali ya, padahal aku sekali pun belum pernah ke sana. Pasti seru kalo aku main-main ke sana. Ungkap Tony dengan berbinar..



Itulah tadi sepenggal fragmen yang menceritakan kepada kita bahwa pengalaman ternyata mempunyai daya tarik dan daya lekat yang berbeda-beda bagi setiap orang yang menjalaninya. Contoh di atas memang mencontohkan kondisi yang ekstrim, di mana Dony yang berlibur ke tempat yang dianggap oleh umum sebagai sesuatu yang “wah” dan prestisius, ternyata dimaknai oleh Dony dengan biasa saja bahkan cenderung membosankan. Sementara Tony menceritakan pengalaman yang terdengar luar biasa, meskipun tempat yang dikunjunginya bagi sebagian besar dari kita “biasa” saja. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada Tony dan Dony? Mengapa bisa seseoarang berbeda dalam merasakan pengalaman mereka. Itulah yang disebut sebagai “kebermaknaan hidup”.

Contoh lain yang mudah dipahami; mengapa seseorang yang sedang jatuh cinta rasanya selalu berbunga-bunga. Bahkan ada lagu yang menyatakan jatuh cinta itu “berjuta rasanya”. Mau tidur ingat di dia, mau makan ingat si dia. Makan sepiring berdua pun terasa nikmatnya, hujan-hujanan juga tak terasa menderita asalkan bersama pujaan hati tercinta. Begitulah perasaan kita semua pada saat “jatuh cinta”. Mengapa bisa demikian? Itu karena kita memberikan makna yang dalam bagi perasaan yang sedang berkembang di dalam hati. Alangkah indahnya hidup kita ini jika perasaan kita selalu seperti pada saat kita jatuh cinta. Tapi bisakah demikian? Mengapa tidak, kita pasti bisa.

Ciri-ciri adanya kebermaknaan dari peristiwa yang kita alami adalah bahwa kita masih ingat hingga detail apa yang terjadi pada saat peristiwa itu terjadi. Coba sekarang Anda ingat, selain masalah jatuh cinta; moment apa lagi yang masih Anda ingat hingga saat ini, meskipun peristiwa itu sudah terjadi sangat lama. Peristiwa ini bisa saja sesuatu yang menyenangkan ataupun tidak peristiwa yang tidak mengenakkan. Saya yakin kita semua memilikinya. Mungkin peristiwa itu adalah momen wisuda sarjana, atau momen pernikahan, atau momen kelahiran anak pertama, atau momen berkumpulnya seluruh keluarga inti, atau momen pertama kalinya kita naik pesawat, atau momen employee gathering, momen saat kita menjuarai kompetisi, momen saat patah hati, momen saat gagal dalam menjalani karir/bisnis, dan momen-momen lainnya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah seberapa banyak moment yang memorable itu masih tersimpan ke dalam diri kita. Itulah sesungguhnya yang akan menentukan “Kualitas kebermaknaan hidup” yang kita miliki. Orang-orang yang mempunyai kualitas kebermaknaan hidup secara baik, akan dapat “menghargai” setiap detik peristiswa yang kita jalani. Sedangkan orang yang tak dapat memberikan arti pada setiap aktivitasnya, ibarat orang yang sudah menghabiskan waktu, namun tanpa memperoleh apa-apa. Hampa.

Hambatan terbesar dalam memberikan makna para peristiwa adalah rutinitas. Rutinitas membuat kita merasa bahwa hal yang sama berulang lagi setiap harinya. Sehingga values yang kita berikan pada proses yang sedang kita jalani secara tidak sadar menurun. Apa yang menarik dari pergi ke kantor setiap pagi, aben, membuka laptop, meeting, pulang kantor, bercanda dengan istri dan anak, nonton TV, dan tidur. That’s it ! Padahal tidak semestinya anda menganggap rutinitas adalah sesuatu hal yang sama. Perlu anda ketahui bahwa “tidak pernah ada pengalaman yang sama yang kita alami setiap harinya”. Pasti ada perbedaannya. Ibarat kita mencelupkan tangan kita ke dalam air sungai. Sekilas nampaknya kita sedang merasakan air yang sama, padahal tidak pernah ada air yang sama dapat kita rasakan saat kita mencelupkan tangan kita ke air sungai untuk kedua, atau ketiga kalinya. Begitu juga dengan pengalaman.

Kunci dalam melatih diri untuk memberikan kebermaknaan dalam rutinitas kita adalah dengan memahami dan menikmati perbedaan yang ada dalam setiap prosesnya. Jika itu masih terlalu sulit, yang paling mudah adalah dengan cara “menciptakan perbedaan / perubahan” dalam cara kita menjalani rutinitas. Mencoba jalan yang lain saat berangkat kantor, melalui pintu yang berbeda saat memasuki kantor, melewati meja kerja rekan yang berbeda saat di kantor, merupakan cara yang bisa dicoba untuk anda mendapatkan sensasi kebermaknaan dalam hidup anda. Sesatu yang tadinya monoton akan berubah menjadi pengalaman yang memperkaya anda. Mulailah bekerja dengan cara yang berbeda. Nikmati setiap improvement yang anda buat, dan jangan pernah berhenti pada satu titik. Atau anda akan terhenti pada ketidakbermaknaan yang bersembunyi di balik nyamannya rutinitas. Memang tidak mudah menggeser bantal dari kursi kerja kita. Tapi atas nama kebermaknaan, kita pasti bisa mengatasinya.



Kecurangan dan Ketidakbermaknaan Hidup

Orang yang curang pada hakikatnya adalah orang yang sedang menipu diri sendiri. Siswa atau mahasiswa yang mencontek adalah sedang menipu diri sendiri yang nyatanya tidak bisa namun mengaku bisa demi mendapatkan pengakuan atas kebisaannya. Pegawai atau karyawan yang korupsi juga adalah orang yang sedang menipu dirinya yang mengira mampu mengumpulkan uang yang lebih banyak, padahal kemampuannya tidaklah sampai segitu. Seorang pedagang yang mengurangi timbangan juga sedang menipu diri sendiri, dia pikir dengan melakukan kecurangan akan dapat memperoleh keuntungan yang lebih. Calon Gubernur yang memalsukan ijazah juga sedang menipu diri sendiri. Dia pikir dia punya kemampuan sebagaimana gelar yang disandangnya. Orang yang berhaji karna ingin dipuji juga pada hakikatnya sedang menipu diri sendiri, karena ia tahu ia tidak sesholeh gelarnya. Orang yang pura-pura lupa membayar ongkos bis kota juga dia sedang menipu diri sendiri. Dia pikir dengan menghemat uang dengan mengurangi hak orang lain akan menjadi lebih kaya. Padahal tidak.

Jika orang yang curang adalah orang yang menipu diri sendiri. Maka dari hati yang paling dalam, orang yang menipu diri sendiri tentu saja sedang berlaku TIDAK JUJUR pada diri sendiri. Ketidakjujuran akan menimbulkan keresahan. Ketidakjujuran bukanlah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Mereka tertipu karena mereka pikir dengan berbuat curang, mereka akan mendapatkan kebahagiaan. Mereka pikir memiliki harta sebanyak Gayus hidupnya akan bahagia. Tapi ternyata tidak. Tanyalah pada diri kita masing-masing atas kecurangan yang pernah kita lakukan. Benarkan kebahagiaan kita berasal dari sana. Jujur pada diri sendiri adalah salah satu kunci menciptakan kebermaknaan hidup.



Apa pentingnya Kebermaknaan Hidup?

Tentu tidak gampang menjawab pertanyaan di atas. Yang pasti kebermaknaan hidup itu adalah simbol dari kebahagiaan lahir dan batin. Kembali ke cerita Tony dan Dony di atas, jika kita amati maka Tony jelas lebih mampu memberikan arti kepada peristiwa yang dialaminya. Sehingga dia pun menjadi lebih bahagia. Sedangkan Dony terlihat sangat datar dan biasa saja dalam memaknai pengalamannya. Kebermaknaan itu letaknya di hati, dan efeknya dapat terekspresikan keluar sebagai sumber inspirasi dan motivasi hidup. Kebermaknaan hidup tidak terbatas ruang dan waktu, atau terbatas pada moment-moment tertentu saja. Kapan dan dimana saja kita dapat memberikannya. Kebermaknaan tidak terkait dengan kualitas objek. Karena kualitas objek itu lama-kelamaan akan membiasa. Kemampuan kita di dalam memberikan makna pada objek tersebut, jauh lebih penting daripada wujud nyata objek tersebut. Cerita Dony dan Tony sudah membuktikan hal itu. Kualitas objek dari apa yang dirasakan Dony tentu menurut pandangan umum dianggap lebih bagus dibandingkan dengan Tony. Liburan di Singapura tentu lebih membanggakan daripada liburan di desa. Tapi ternyata Tony lebih dapat memberikan nilai lebih terhadap pengalamannya dibandingkan dengan Dony.

Mengapa hidup harus bermakna? Karena kita punya kebutuhan akan kebahagiaan. Betapapun hebatnya pengalaman kita, namun jika kita tidak dapat menginternalisasikan pengalaman tersebut ke dalam batin, maka akan menjadi sia-sia belaka. Seseorang yang dapat meletakkan setiap pengalamannya menjadi hal yang berharga dalam hidupnya akan mempunyai kecenderungan bahagia dalam hidupnya. Tidak perlu menunggu hari Sabtu dan Minggu untuk bahagia. Tidak perlu menunggu liburan tiba dan pergi bertamasya untuk menjadi bahagia. Anda bisa melakukannya setiap hari untuk bahagia, tergantung dari seberapa besar anda mampu memberikan makna pada kualitas proses atau kebendaan yang Anda miliki. Sekali lagi kualitas objek itu membiasa. Kita tentu pernah merasakan hasrat yang menggebu-gebu pada saat ingin memiliki sesuatu hal / benda. Namun kita selalu saja berangsur-angsur merasa “biasa saja” ketika sudah memilikinya. Itulah yang disebut kualitas objek yang membiasa. Jika kita gagal dalam mempertahankan kebermaknaan kita pada objek yang kita miliki, maka pada saat itulah hidup Anda akan hampa dan tidak bermakna. Pesan Tuhan sangat nyata, “janganlah kau kejar dunia, karena tidak akan ada habisnya”. Dalam konteks kebermaknaan tentu ini sangat pas, karena kebahagiaan kita memang tidak diukur dari seberapa banyak benda yang kita miliki, namun diukur dari bagaimana cara kita mem-values segala sesuatu yang kita miliki.

Adakah diantara kita yang sedang merasakan kehampaan? Hidup terasa mengalir saja seperti air mengalir, hendak kemana kita pun tak kita risaukan. Kebahagiaan hidup pun jauh dari genggaman. Jika anda sedang merasakan hal yang demikian, rasanya sudah saatnya anda mulai memberikan “penghargaan” yang lebih terhadap setiap aktivitas ataupun proses yang dijalaninya. Juga termasuk di dalamnya mari kita berlatih untuk memberikan “penghargaan lebih” kepada aktivitas ataupun proses yang dialami oleh orang lain. Jangan sampai kita bilang,” gitu aja kok bangga?”, “kalo cuma gitu aja aku juga bisa”. Tuhan pun tidak menilai amal seseorang dari kualitas kebendaan yang diberikan oleh seseorang, karena Tuhan itu sudah Maha Kaya, Dia tidak butuh kualitas kebendaan kita. Infak 100 ribu tentu sangat besar bagi orang yang hanya punya uang 200 ribu. Tapi infak 1 juta mungkin tak ada artinya bagi mereka yang berpenghasilan 50 juta. Yang Tuhan nilai adalah keikhlasan kita di dalam memberikan. Keikhlasan itu sangat abstrak karena ada di hati. Tapi keikhlasan itu dapat kita rasakan. Seseorang akan bisa berlaku ikhlas, jika ia merasa bahwa apa yang ia lakukan itu “bermakna” bagi dirinya.

Mungkin anda pernah mendengar cerita tentang seorang nenek miskin yang setiap bulannya selalu menyisihkan sebagian penghasilannya yang tidak seberapa, dan ternyata uang itu ia sisihkan untuk membeli hewan kurban. Dan nenek itu bisa melakukannya. Bagaimana dengan kita yang mendapatkan gaji rutin setiap bulannya? Sudahkah kita melakukan seperti halnya nenek tersebut menyisihkan sebagian uangnya? Karyawan Astra semestinya tidak kesulitan jika tiap tahun berkorban seekor Sapi. Karyawan Astra semestinya tidak kesulitan untuk pergi Haji di usia muda. Namun kenyataannya belum sepenuhnya demikian. Apakah kita tidak malu dengan nenek miskin yang penghasilannya tidak seberapa itu? Nenek tersebut telah meletakkan tingkat kebahagiaan tertingginya untuk pengabdian kepada Tuhannya. Ia menafikan kepentingan dunianya dan memilih untuk memberikan makna lebih terhadap hubungan transendensinya kepada Tuhan. Itulah tingkat kebermaknaan tertinggi dari manusia, yang disebut oleh Abraham Maslow saat menjelang ajal beliau sebagai “peak experience”. Peak experience ini sangat ditentukan oleh visi dan tujuan hidup anda. Jika anda sudah berhasil menentukan visi dan tujuan hidup anda, dengan ketekunan batin anda pasti dapat mencapai “peak experience” ini. Sebuah tingkat pemenuhan dalam hierachy kebutuhan manusia yang paling tinggi.

Dunia ini hanya sementara, sayang sekali jika kita tidak dapat memberikan makna dalam kehidupan ini. Mari kita mulai dari saat ini, mulai dari hal-hal yang kecil yang setiap hari kita lakukan. Respect yourself & respect others. Menghargai diri sendiri berarti anda memberikan makna pada hidup anda, dan menghargai orang lain berarti anda membantu memberikan makna hidup buat orang lain. Jangan remehkan peristiwa-peristiwa kecil yang kita jalani. Berikan sentuhan-sentuhan keikhlasan dalam setiap gerak kita. Sambil belajar ikhlas, mulailah untuk menggerakkan kebahagiaan kita dengan cara-cara yang dikehendaki oleh Tuhan. Karena di sanalah letak kebahagiaan berada. Menolong orang lain, dan berbuat sesuatu yang memberikan arti dalam hidup mereka, adalah kebermaknaan hidup yang menarik untuk dijalani. Quotes menarik dari seorang kawan “Hidup sekali, hiduplah yang berarti”. Mengabdi pada Tuhan, bermakna bagi diri sendiri, dan berguna untuk orang lain. Selamat mencoba. [heriwe]

Comments

Popular Posts