Belajar dari Kemacetan

“If you can not change the world, change yourself”

Tidak berlebihan kiranya jika saya katakan “bukan jakarta kalo tidak macet”. Seperti itulah yang dialami ribuan penghuni jakarta dan sekitarnya, termasuk saya. Jakarta memang unik, namun selalu menarik. Sebab 80% perputaran uang di negara ini konon ada di jakarta. Sehingga orang-orang berbondong-bondong ke Jakarta untuk memperebutkannya. Pergi meninggalkan kampung halaman, sebagian dengan bekal ketrampilan yang alakadarnya, mencoba mengadu nasib di jakarta. Siapa tahu bisa kebagian “kue jakarta”.Tidak peduli tinggal di kolong jembatan, yang penting uang mudah didapatkan. Dibandingkan dengan di kampung, dimana untuk mendapatkan uang harus menunggu 3 bulan menanam dan merawat padi di sawah. Penghasilan di Jakarta memang lebih besar, karena UMR juga lebih besar dibandingkan dengan kota lain, namun sesungguhnya biaya hidup di jakarta juga tidak murah. Sehingga jika orang dengan penghasilan mendekati UMR, tetap saja lebih berat kehidupannya. Belum lagi beban sosial yang ditanggung. Dan ongkos energi yang terkuras untuk menjadi “kuat mental” dengan terpaan ‘iri sosial’, kriminalitas rutin, kemacetan sistemik, ketidakramahan terhadap kaum marjinal, dan bencana tahunan yang menyesakkan. Jauh lebih berat ongkos itu semua. Namun sekali lagi, entah mengapa..jakarta masih menarik bagi sebagian orang di negeri ini.. banyak yang malu untuk pulang kampung karena mungkin sudah ketularan bakat gengsi orang-orang metropolis. Atau karena sudah terlanjur ganti nama, di kampung bernama “Painem”, sekarang maunya dipanggil “Iin”.. yah begitulah.

Macet! kata itulah yg mungkin bisa menggambarkan keadaan jakarta. Gubernur sudah berganti. Infrastruktur sudah dibangun, sarana angkutan massal macam KRL & busway sudah dibangun, namun tetap saja belum bisa mengatasi kemacetan ini. Macet! Memang sebuah keniscayaan yang ada di kota seperti jakarta ini. Sebab bukan hanya tahunan saja orang berbondong ke Jakarta, tapi setiap harinya orang berbondong-bondong ke Jakarta untuk berangkat kerja. Jakarta yang di malam harinya berpenduduk sekitar 750 ribu orang berubah menjadi 1.2 juta di siang hari. Sudah kita ketahui bersama bahwa, sebagian pekerja yang bekerja di jakarta, memang tinggal di daerah sekitar Jakarta seperti tangerang, depok, bekasi, dan bogor. Kenapa tidak tinggal di jakarta? Selain karena sumpek, juga harga rumah dan tanah di Jakarta sungguh tidak bersahabat bagi sebagian besar pekerja itu. Jadilah kemacetan adalah makanan sehari-hari dikarenakan hal di atas; infrastruktur yang tidak memadai, dan padatnya arus kendaraan menuju Jakarta, khususnya di pagi hari dan sore atau malam hari.

Tidak berhenti sampai di situ. Kemacetan ini diperparah lagi oleh perilaku sopir angkutan umum (baca: mikrolet, angkot, bajai dll), yang seenaknya saja berhenti di tempat-tempat yang mereka anggap gampang mencari penumpang. Tentu saja hal ini menambah parah kemacetan. Tak jarang pengendara yang lain pun naik pitam dibuatnya oleh perilaku para sopir ini. Mengapa para sopir ini berhenti seenaknya? Ya, sebab memang yang ada di benak mereka berbeda dengan yang menjadi tujuan para pengendara yang lain. Memang setiap pengguna jalan juga menyimpan pemikiran dan tujuannya masing-masing. Namun jika mau disimplifikasi bolehlah disebut bahwa keinginan para pengendara pada umumnya adalah supaya cepat sampai ke tujuan, apakah itu tempat kerja atau tempat yang dituju lainnya. Sedangkan sopir angkutan umum itu tentu tujuannya bukan cepat sampai ke tujuan, tapi tujuannya adalah mendapatkan penumpang agar bisa kejar setoran. Kalo macet? Jadi makin asyik, soalnya bisa lebih leluasa dalam mendapatkan penumpang.

Kita semua juga sebenarnya sudah tahu tentang tujuan yang berbeda tersebut. Namun jika sudah berada di kemacetan, seolah-oleh kesadaran tentang tujuan tersebut tidak mampu merubah apa-apa, yang ada justru kejengkelan yang terus menerus. Orang-orang yang terjebak di dalamnya, setinggi apa pun gelar dan pangkatnya, akan kelihatan bodoh dan merasa bodoh di tengah keadaan yang tidak bisa dihindari seperti itu. Bagi anda yang belum pernah merasakan situasi itu, silakan sekali-kali mencobanya.. Berada di dalam mobil ber-AC maupun bagi yang naik motor, mempunyai kejengkelannya masing-masing. Yang naik motor tentu bisa merasakan pegelnya tangan dan kaki untuk ngerem dan ngegas, plus merasakan peluh keringat yang mulai menetes dari kepala ke punggung jika kemacetan tak juga terurai hingga berjam-jam. Bagi yang naik mobil pun, juga sama tak enaknya. Harus mengelus dada jika kaca spionnya tiba-tiba diserempet sepeda motor, atau mesti mahir mengerem saat sepeda motor berzigzag mencari sela diantara mobil.. Sekotak biskuit plus softdrink pun kadang tak mampu menghilangkan rasa jengkel dan bosan. Lebih lagi jika mobil harus baret karena tersrempet. Biarpun sudah diasuransi, tetap saja tidak mengenakkan.

Padahal terkadang penyebab kemacetan adalah sesuatu yang konyol kalo tak mau dibilang bodoh. Satu angkot ngetem di tengah jalan saja, jika dilakukan di jam sibuk, sudah bisa membuat kemacetan ratusan meter bahkan bisa lebih dari 1 km panjangnya. Selain perilaku sopir angkutan umum yang seenaknya, penyebab berikutnya adalah perilaku pengendara lain, terutama sepeda motor. Jika sudah macet, maka tidak peduli melawan arus, jalur yang berlawanan pun dipakai juga. Akibatnya bertemulah dengan orang yang berada di “jalur yang benar”. Jika sudah bertemu begini, jadi membingungkan dan biasanya sulit terurai. Siapa benar, siapa salah menjadi tidak penting lagi. Yang seringkali mendominasi adalah siapa yang layak untuk jalan duluan. Jika yang membantu menguraikan kemacetan adalah “polisi cepek”, biasanya yang “harus” jalan duluan adalah pengendara mobil. Tentu saja karena mereka yang ngasih “angpao”. Sementara pengendara lain, jangan harap didahulukan. Jika yang membantu mengurai kemacetan adalah polisi, biasanya lebih mendingan. Secara mereka memang mendapatkan pendidikan tentang lalu lintas.

Namun dalam keadaan dimana banyak orang melawan arus lalu lintas, sekali lagi akal sehat dan siapa yang benar tidak penting. Polisi tak jarang juga pasrah, dan mengharuskannya melakukan “tindakan lapangan” dengan mempersilahkan “siapa yang bisa jalan duluan” daripada “siapa yang seharusnya jalan duluan”. Filosofi yang menarik jika direfleksikan dalam kehidupan kita. Kadang orang-orang yang berada di jalur yang salah dapat dengan mudah meraih segalanya, karena memang situasi mendukung akan hal tersebut. Sementara orang-orang yang berada di rel yang benar justru selalu kesulitan untuk mendapatkan keinginannya, karena memang tidak ada akses untuk itu. Selama keaadannya tidak berubah, maka selamanya kebenaran akan sirna di tengah derasnya arus egoisme pribadi yang mengemuka.

Namun terkadang di tengah kemacetan masih ada orang-orang yang merelakan dirinya untuk menguraikan kemacetan. Aku pernah melihat seorang turun dari motornya, dan mulai mencoba menguraikan kemacetan dengan mengarahkan kendaraan agar jalannya menjadi lebih lancar. Kita tentu berterima kasih. Orang-orang seperti ini dalam kehidupan nyata adalah orang yang mau untuk keluar menjadi penyelamat bagi kehidupan bersama, di tengah-tengah keadaan yang tidak menentu. Ia adalah informal leader yang memberikan pencerahan tentang jalan keluar dari sebuah masalah, dengan melakukan tindakan nyata. Tentu ini bentuk pengabdian tertinggi tentang sebuah kepemimpinan. Orang-orang semacam ini ada dalam kehidupan kita meskipun kita mungkin tidak mengenalnya secara formal, dan dia juga bukanlah pemimpin formal. Kita sangat terbantu dengan kehadiran mereka.

Namun jika tidak ada orang-orang seperti mereka, lantas bagaimana kita harus menghadapi kemacetan ini? Jika kita mampu, jadilah seperti mereka. Tapi jika tidak, minimal kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Jika kita menjadi pengendara kendaraan, berbuatlah santun, dan tidak mendzalimi pengendara yang lain. Sebab semua orang juga punya tujuan dan harapan masing-masing dengan menggunakan jalan yang sama-sama kita lewati. Jangan musnahkan harapan orang lain untuk bisa lekas sampai ke tempat tujuan, dengan menghalang-halanginya. Berlakulah hanif dan jangan dzolim. Jikapun karena terlanjur ada macet, berikanlah dulu terhadap yang berhak. Sebab jika saling serobot, apalah artinya beberapa menit lebih cepat, namun kita menancapkan rasa sakit hati di benak orang lain, yang pada gilirannya jika orang tersebut mendoakan hal yang buruk untuk kita, maka beberapa menit yang lebih cepat itu tidak akan menjadikan keberkahan bagi hidup kita di hari itu. Bukankah merugi. Lebih baik kita tersenyum, dengan memberikan jalan kepada yang berhak. Dan renungkanlah jika orang memberi jalan kepada orang lain, maka Tuhan pun pasti akan melapangkan jalan kepada kita.

Sesungguhnya kita bisa banyak belajar dari masalah kemacetan. Dari mulai melatih kesabaran, mengendalikan emosi, mendahulukan orang lain, tidak menyerobot jalan hingga kesediaan merubah perilaku jika lingkungan tidak ingin dirubah. Kemacetan adalah alam yang menghinggapi keadaan kita di Jakarta yang harus kita taklukkan. Begitu pula terkadang dalam kehidupan. Jika kita hanya mementingkan diri sendiri, tak jarang semuanya justru bertambah menjadi lebih ribet, persis seperti kemacetan. Perlu abundant mentality, dimana dengan mendahulukan orang lain pada hakikatnya kita sedang memudahkan jalan bagi keberhasilan kita bersama. Orang yang gagal dalam kemacetan sesungguhnya telah mengembangkan kegagalan dalam aspek psikologis pada kehidupannya yang lain. Dan orang yang berhasil mengalami pengalaman kemacetan dengan suka cita dan penuh kelimpahruahan, telah meretas jalan bagi kebahagiaan dirinya dan orang lain. Maka mulai dari sekarang, cobalah memikirkan orang lain pada saat terjadi kemacetan, niscaya kemacetan akan menjadi berkurang. Dan lebih cepat terurai. Anda harus mencobanya. Janga hanya memikirkan diri sendiri.

Kemacetan...adalah bumbunya Jakarta. Kalau ingin nggak macet, mungkin kita harus menunggu hingga lebaran tiba, dimana semua orang mudik.. jakarta, ooh jakarta..Kita boleh bermimpi tentang ketidakmacetan, tapi kita harus tetap belajar bijaksana dalam menghadapi kemacetan. Mungkin ini jalan yang akan mendewasakan cara kita bersikap untuk menjadi bangsa yang besar. Biarlah pemerintah berpikir untuk mengatasi kemacetan dengan caranya. Buat kita, selama kita masih berada di Jakarta, jangan kita menambah kemacetan dengan perilaku yang tidak konstruktif. If you can not change the world, change yourself [heriwe].

Comments

Popular Posts