Saat Modernitas Mendahului Mentalitas

Ini mungkin semacam pertanyaan lama yang tak kunjung terjawab, tentang perilaku di sekitar kita. Saya cukup kebingungan untuk menentukan sebenarnya apa yang sedang terjadi pada situasi tersebut, apakah namanya. Namun kemudian sewaktu pulang kantor kemaren saya sedikit mendapatkan pencerahan, ternyata mungkin ini naming yang tepat untuk segenap peristiwa dan perilaku yang sering aku jumpai dari dulu hingga sekarang; yaitu “modernitas yang mendahului mentalitas”

Kadang kejadiannya bisa menggelikan, atau bahkan menjengkelkan. Dulu sewaktu saya masih kecil, saya sering mendengar gurauan tentang dungunya orang-orang di pedesaan daerah pegunungan (wong nggunung) yang katanya beramai-ramai membeli barang-barang elektronik di masa panen, dan beramai-ramai menjualnya jika musim paceklik tiba. Entah karena gengsi dan semacamnya, maka rasanya tidak afdol jika panen tidak beli barang elektronik. Mulai dari televisi, radio, kulkas, dsb. Karena perilaku beli-jual kemungkinan tidak didasarkan pada aspek kebutuhan, kadang setelah memiliki barang tersebut kurang tepat. Kulkas bisa jadi lemari pakaian contohnya. Itu salah satu yang aku ingat dan selalu membuat tersenyum.

Yang masih sering terjadi pula adalah begitu mudahnya masyarakat kita berganti HP. Menurut informasi, negara kita termasuk pasar potensial bagi HP-HP dengan fitur yang canggih. Sebab di luar negeri orang lebih banyak menggunakan yang sesuai dengan kebutuhan. Hampir setiap kali saya ketemu bule, pasti HP nya tidak lebih bagus dari HP teman-teman kantor. Tentu ini pasar yang baik dan di manfaatkan oleh industri ponsel untuk melakukan penetrasi besar-besaran. Lucunya, terkadang banyak fitur yang aktivitas penggunaannya sangat minim, kalo tidak mau dibilang tidak pernah disentuh sama sekali.

Nah, dari yang lucu kita beranjak ke yang lebih serius. Dulu sewaktu awal-awal AC-nisasi di kampus saya, banyak dosen yang nampaknya belum bisa merubah kebiasaannya. Dengan alasan kenyamanan, maka dosen tersebut merokok dan memperbolehkan mahasiswanya untuk merokok, di tengah kelas di ruang ber-AC. Kalo diprotes, alasannya “lha kalo tidak merokok saya gak bisa ngajar”. Hehe..alasan yang mudah diucapkan tapi sulit diterima bagi para mahasiswi yang menutup hidungnya selama jam kuliah berlangsung. Dan akhirnya racun-racun pun bersenyawa dengan baik di kelas kami, membuat ujian akhir terasa sulit karena materi tidak bisa masuk .

Ini lebih serius lagi. Setiap hari, saat berangkat dan pulang kantor, saya “hampir selalu” melihat pengendara motor ataupun mobil membuang sampah di jalan. Paling sering dibuang biasanya puntung rokok, bekas tisue, atau bungkus makanan/minuman. Dan tidak pandang bulu, mereka yang naik mobil mewah pun saya pernah saksikan dengan enaknya membuang sampah di jalan, tanpa rasa bersalah. Apakah itu perilaku baby sitternya yang kebetulan ada di mobil itu? Ya saya tidak tahu benar. Tapi kejadian tersebut bukanlah sekali atau dua kali. Untuk kasus motor, bahkan hampir selalu saya dapati.

Dan jika mau dipereteli dari frase yang saya tulis di awal tulisan ini tentu lebih banyak lagi kejadian-kejadian yang bisa kita amati. Sebut saja jongkok di toilet duduk, ambil air wudhu di wastafel (dengan menaikkan kaki tentu saja), menerobos lampu merah, menikung tanpa menyalakan lampu sign, tidak mau antri saat membeli tiket, mengambil uang yang bukan haknya (dan menganggapnya menjadi rejeki) dll.

Semua itu menurut saya adalah sebuah gejala, gejala kelatahan sosial, lapar sanjungan, kekonyolan yang dilanggengkan, gengsi yang tak kunjung terkejar, dan atau mungkin satu bentuk keterbelakangan mental-sosial dari masyarakat kita. Bisa pula ini sebuah simbol kehilangan substansi dan filosofi hidup. Dulu, puluhan atau ratusan tahun lalu, masyarakat kita punya kearifan lokal yang nilai-nilainya selalu relevan dipakai di jaman ini sekalipun. Jauh sebelum ada HP, anjangsana atau silaturrahim sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Sebelum ada penebangan liar, nenek moyang kita menganjurkan untuk menanam pohon. Sebelum adanya AC di kelas, para guru tidak akan membiarkan muridnya tersiksa karena asap rokok. Mungkin pula ini sebuah tanda-tanda ketertinggalan kualitas mental kita, dibandingkan dengan unsur-unsur modernitas yang datang selalu lebih cepat dari kesiapan kita.

Ibarat kaum pendatang yang hampir selalu bisa menggusur orang-orang lokal dengan kesuksesannya, dan menimbulkan kecemburuan sosial. Mungkin itulah analogi yang tepat untuk menggambarkan betapa kesiapan mental adalah hal yang penting dan selalu dipersiapkan. Karena jika kita tidak menciptakannya, maka semua itu sudah tercipta untuk kita. Modernitas datang tanpa menunggu kita siap, sebab begitulah mereka bekerja dalam dominanasi kehidupan kita.

Comments

Popular Posts