Mencari Identitas ke-Indonesiaan

Jika kita ke Jepang sekarang ini, di jalan-jalan kita dapat melihat tulisan-tulisan di baliho, billboard dengan huruf kanji ada di mana-mana. Begitu juga jika kita ke Thailand, ke Korea, ke Arab, ke Israel, ke China. Bangsa-bangsa yang relatif lebih maju dibandingkan dengan negara kita ini ternyata masih bangga menggunakan identitas kebahasaan mereka, yang diwujudkan dengan huruf-huruf khasnya. Bagaimana dengan kita?

Setelah dipikir-pikir, ternyata kita tidak pernah menggunakan itu. Padahal kita punya bahasa dan huruf-huruf daerah yang bisa saja menjadi identitas kebangsaan kita. Justru kita bisa sangat kaya dengan hal itu. Apakah kita harus menyalahkan Sumpah Pemuda yang berkonsensus untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? (dan lantas sedikit meminggirkan keberadaan bahasa daerah sebagai identitas asli warga bangsa ini, tahun demi tahun). Ataukah multikulturalisme Indonesia sesungguhnya merupakan dimensi penting, yang kini telah dipinggirkan dengan dalih mengedepankan identitas nasional?

Ironisnya, bahasa Indonesia yang sekarang merupakan identitas nasional pun sudah mengalami metamorfosa, dengan munculnya bahasa gaul, atau bahasa kantoran (yang rajin menggunakan separo Bahasa Asing, di sela-sela bahasa Indonesia). Adanya kebanggaan menggunakan bahasa asing yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia, sesungguhnya merupakan bagian dari perasaan rendah diri terhadap bangsa dimana bahasa itu berasal. Lantas di mana kebanggaan kita atas ke-Indonesiaan kita? Dari manakah semua ini bermuara? Mungkinkah karena Indonesia adalah negara konsensus? Tidak seperti sebagian besar negara yang tumbuh dari satu akar budaya yang sama. Mungkin juga. Atau mungkin sumbernya karena mentalitas budak yang belum sepenuhnya hilang dari bangsa ini, semenjak merdeka secara formal tahun 45? Apakah memerdekakan dirinya bangsa kita hanyalah bagian dari ketakutan akan datangnya kembali penjajah, yang diwujudkan dengan mengagung-agungkan bangsa lain yang lebih maju?

Lantas lihatlah pula judul-judul lagu-lagu kita. Kalau dulu judulnya “benci tapi rindu” sekarang “I miss you but I hate You”. Dulu “Awan lembayung”, sekarang “shadow”. Dulu “Aku Sayang Padamu” sekarang “I Love You Bibeh”. Atau sinetron-sinetron kita yang yang cerita dan penampilannya sangat “Raam Punjabi”. Beberapa ide ceritanya ada yang plagiat, dan ceritanya selalu hampir sama. Sungguh tidak mengakar pada keseharian masyarakat. Film-film kita pun tak jauh dari situ. Sebagian ide ceritanya berbau hollywood, sampe cover-cover CD nya pun plagiat cover film-film hollywood. Jika hantu-hantuan sedang laku, maka semua berlomba menampilkan hantu. Jika bandul berayun ke film Islami, semua film mengambil nuansa yang sama, meskipun akar ceritanya sama saja.

Indonesia, seperti sudah tidak ada identitas lagi. Pancasila yang menjadi kesepakatan Dasar Negara ini nampaknya tidak lagi mampu mengikat masyarakat dan budayanya untuk tumbuh dalam Identitas yang sama. Seolah kesepakatan berdirinya negara Indonesia dengan mengikat ragam budaya yang ada hanyalah sebuah solusi atas keberadaan “musuh bersama”. Yaitu munculnya semangat nasionalisme yang terbangun karena sama-sama dijajah (Belanda dan Jepang). Bukan karena kesadaran kolektif untuk tumbuh bersama yang diikat oleh lautan (bukan dipisahkan). Negara kita adalah “Nusantara” (nusa-antara), pulau-pulau yang berjarak dan disatukan. Tapi kita tidak pernah benar-benar disatukan. Kesadaran akan pertingnya bersatu dan merdeka bersama nampaknya belum disertai kesadaran untuk menerima kenyataan bahwa kita adalah bangsa yang “disatukan” oleh keadaan. Masyarakat kita, jujur saja sesungguhnya “tidak saling mengenal” satu sama lain, kecuali mereka yang pernah bepergian antar pulau, atau antar daerah. Indonesia itu indah, kaya budaya, beragam potensinya ; hanya bagi yang pernah berkeliling Indonesia. Ironis, karena lautan ternyata masih menjadi pemisah, bukan pemersatu bangsa ini. Bahasa, ternyata hanya mampu menjadi pengikat secara formal (baca: agar anak-anak sekolah bisa ujian dengan bahasa yang sama). Nampaknya kita butuh sebuah identitas yang jelas, untuk dapat terikat dengan pasti sebagai sebuah bangsa, dan bangga bercerita ke luar sebagai negara besar.

Sekarang, adakah kita akan sadar, bagaimana dan kemana identitas bangsa ini akan dibawa? Akankah seperti Amerika yang getol mengumpulkan orang multiras sedunia dengan green cardnya? Ataukah akan seperti Jepang yang orang-orangnya tidak fasih Bahasa Inggris, tapi bisa “memaksa” setiap yang masuk negaranya menggunakan bahasa Jepang? Ataukah seperti Turki yang sejak jaman Mustafa Kemal Attaturk, yang mengubah kiblat budayanya ke Eropa?

Indonesia, sebuah negeri yang terlalu besar untuk tidak beridentitas..

Semoga terpikirkan oleh calon-calon pemimpin bangsa ini, di sela-sela kesibukan mencari dukungan politiknya..

Comments

Popular Posts