Republik 5 tahunan

Ada tradisi unik di negara kita ini dimana mantan presiden jarang atau bahkan boleh dibilang tidak pernah berkomunikasi dengan presiden terpilih. Soekarno tidak ngobrol dengan Soeharto saat kepemimpinan berganti, bahkan justru menjadi pesakitan dan seperti ‘dibunuh’ pelan-pelan. Begitu pula Soeharto dengan Habibie, yang juga sekian lama tidak berkomunikasi. Habibie dengan Gus Dur, Gus Dur dengan Mega (yang ini mungkin sempat ketemu tapi dalam konteks yang beda), Mega dengan SBY. Seolah menegaskan bahwa sebuah kepemimpinan bangsa ini tidak didasarkan pada sebuah end in mind yang jelas. Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala amandemen yang telah dilakukan, hanya menjadi dasar untuk pembenaran perilaku untuk setiap program yang ditelurkan para Presiden, bukan menjadi sebuah tali pengikat yang merupakan benang merah keberlanjutan estafet kepemimpinan. Nampaknya estafet kepemimpinan yang terjadi tidak benar-benar mengarahkan kepada satu tujuan yang jelas, namun hanya memberikan semacam prosesi pergantian dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya, atas dasar “siapa lebih beruntung dari siapa”, untuk dapat memimpin negeri ini. Maka wajar jika kita cermati saat ini banyak amanat UUD 1945 belum dapat terpenuhi secara total, meskipun kita sudah hampir 64 tahun merdeka. Masalah dasar seperti sandang, pangan, papan, penguasaan bumi, air dan segala isinya bagi kemakmuran rakyat, tentang kebebasan beribadah, dsb seperti belum tersentuh.


Kita mungkin dapat melihat Amerika, dimana George W Bush hadir dan “membisiki” Obama saat inaugurasi, dan tradisi ini nampaknya mewakili simbol juga bagi perwujudan garis besar haluan negara Paman Sam tersebut. Lepas dari adanya perbedaan kebijakan, namun tampaknya apa yang Obama jalankan tidak jauh-jauh dari apa yang sudah dilakukan Bush. Mereka tetap anti nuklir Iran, tetap pro Israel, tetap ingin jadi polisi dunia, tetap ingin mengakuisisi Afganistan, Irak dsb. Itulah bagian dari “benang merah” estafet kepemimpinan.

Dan untuk negara kita, tidak ngobrolnya para pemimpin ini tentu saja bukan semata hal sepele. Karena ini merupakan simbol yang tentu ada maknanya. Mungkin sebuah pertanda bahwa tidak ada satu gagasan besar yang diusung bersama bagi bangsa ini, dan hanya gagasan yang menguntungkan bagi kelompok berkuasa. Atau mungkin pertanda bahwa pergantian kepemimpinan hanyalah perebutan kekuasaan semata, bukan upaya untuk mensejahterakan rakyat. Indonesia, negeri yang sangat kaya raya, yang semua bahan kebutuhan hidup di dunia ini ada, yang banyak dicari orang-orang yang lebih “paham” dari Jaman Portugis hingga Freeport; tapi kenyataannya dengan kekayaan alamnya, belum bisa mensejahterakan rakyatnya.

Ada yang sedikit yang lebih baik dalam hal “menuju tujuan akhir”, yaitu Soeharto yang membangun milestone Indonesia dengan program Repelita, serta pelaksanaan GBHN. Meskipun kemudian hal ini bisa dibaca sebagai upaya pelanggengan kekuasaan semata. Namun paling tidak ada gagasan yang sudah diterapkan sebagai proses yang harus dilalui oleh negara ini, selangkah demi selangkah. Sementara pasca Soeharto, di era reformasi, negara ini kembali mencari-cari hendak kemana arah Indonesia? Apakah akan menjadi negara Industri maju yang berbasis pertanian? Atau menjadi negara agraris yang unggul dengan ekstensifikasi teknologi pertanian. Atau negara berbasis maritim yang tumbuh dengan teknologi, atau apa? Saat ini setiap capres berlomba-lomba, seperti latah menyuarakan hal yang hampir sama, hanya positioning yang sedikit berbeda. Namun rakyat nampaknya tak benar-benar jelas, hendak dibawa kemana negara ini? Para capres hanya “berjualan” dengan mengobral janji “100 hari pertama” dan program 5 tahun ke depan, tanpa kepastian arah yang ingin dituju oleh bangsa ini. 5 tahun ke depan setelah kepemimpinan saya hendak dibawa kemana, itu urusan nanti, urusan presiden yang akan terpilih.

Persis, inilah negeri 5 tahunan, dimana rakyat setiap 5 tahun sekali diajak untuk berpesta, memilih pemimpin, untuk kemudian tidak tahu bagaimana nasibnya di tangan pemimpin 5 tahunan itu..

Ironis memang, sedangkan sebuah keluarga saja punya visi tentu tidak hanya 5 tahunan.. Mereka punya gambaran tentang akan punya anak berapa, dimana anaknya akan disekolahkan 4 tahun lagi, 10 tahun lagi. Mereka punya gambaran akan tinggal dimana, kapan pergi Haji, dsb..

Sedangkan negara kita, cukup 5 tahun saja..

Comments

Popular Posts