Welcome to India

Welcome to India
(Catatan Perjalanan dari Negeri Bollywood)


Hmmm.. welcome to India..welcome to India. Terlihat seorang berkumis dan berhidung mancung, berkulit agak gelap, berwajah Asia Barat menyalami aku sambil menggoyang-goyangkan kepala..hehehe.. Aku pikir hanya di film-film india saja ada orang seperti ini, sebagai bagian dari seni. Ternyata it’s real bro..Kemudian aku baru tahu bahwa banyak laki-laki India menggoyang-goyangkan kepala pada saat berbicara, sebagai bentuk keseriusan ucapan dan penghormatan kepada orang lain..hehehe.geli-geli gimana gitu, ngeliat lawan bicara goyang-goyang kepala sendiri.. tapi kalo yg ce2nya gak gitu kok.

Ya mungkin itu pengalaman ketika tiba pertama kali di Indira Ghandi International Airport di New Delhi. Incredible India, begitu slogan yang disuguhkan India, terutama sebagai slogan tourism visit mereka..Incredible atau not credible??? Yang jelas sesampainya di bandara kita rombongan Indonesia disuguhi oleh keadaan bandara yang under construction sehingga kurang nyaman. Seorang rekan yang tahun lalu ke India pun menyatakan bahwa pada saat itu juga sudah under contruction. Wow, lama sekali project itu dikerjakan, sementara pada saat saya datang ternyata tulisan under construction itu masih ada, namun tidak ada tanda-tanda orang sedang bekerja untuk itu. Yah, mungkin kalo di Jakarta, semacam pembangunan fly over ITC Cempaka Mas yang sudah bertahun-tahun pembangunan namun tidak selesai juga.

Belum habis menyaksikan under construction, sajian berikutnya adalah antrian yang supeeeer panjang. Mungkin ini antrian terpanjang saya selama berada di beberapa bandara.. Dan setelah di lihat ternyata, oow... lebih disebabkan karena tidak berfungsinya beberapa loket keimigrasian, dan beberapa lagi petugasnya sudah cukup berumur (jika tidak mau dibilang tua), so kita harus menunggu cukup lama berdiri, hingga giliran kita tiba. Mungkin sekitar 30 sampai 40 menit menunggu hanya karena pelayanan yang lambat (hmmm.ini tidak saya temui di keimigrasian di Indonesia yg ternyata karyawannya masih muda-muda). Jadi boleh donk sesekali membanggakan negeri sendiri dalam kasus ini. Indonesia mungkin masih lebih baik.

India, negeri penuh Ironi

Ngeri juga mendengar judul di atas. Bukan bermaksud menggeneralisir temuan lapangan. Namun setidaknya itulah yang aku rasakan selama beberapa hari berada di sana. Ironi pertama yang aku temui adalah fakta (yg aku tangkap) bahwa ternyata India tidak semegah yang ada di film-film India yang sering muncul menghiasi layar kaca kita. Kalau di fil-film-film itu yang nampak adalah cowok2 ganteng dan cewek2 seksi dan cantik yang menari-nari di istana, kadang pake sedan mewah keluaran terbaru, plus motor gede yang gagah untuk cowoknya; namun ternyata dalam kenyataan sesungguhnya hampir tidak pernah aku temui yang seperti itu. Keadaanku ini sama persis dengan tanggapan orang Jepang yang kaget melihat sinetron-sinetron kita yang menampakkan gambaran anak SMU yang ke sekolah naik mobil mewah. Orang Jepang kaget, bukan hanya karena mereka punya pengetahuan bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang (mungkin) masih banyak penduduk miskinnya, namun juga lebih karena kenyataan bahwa di Jepang sendiri tidak ada yang seperti itu. Bisa dimaklumi kalo layar kaca telah mengkonstruksi dunianya sendiri. Sehingga apa yang nampak di sana merupakan alam mimpi artifisial yang terus menerus dijejalkan kepada pemirsanya yang (juga mungkin) haus akan mimpi-mimpi tersebut. Persis lagi dengan kekagetan seorang teman dari daerah (baca: luar Jakarta-red), yang terheran-heran ketika datang ke ibukota dan menyaksikan anak-anak sekolah di Jakarta ternyata juga tidak semuanya menampakkan wajah hedonis dan metropolis sererti halnya yang ada di senitron-sinetron di TV. Bahkan tiap hari jumat mereka mengenakan busana muslim untuk laki-laki dan perempuan, yang jelas-jelas jauh dari kesan metropolis. Sebagian dari mereka juga gak kalah ndeso nya dengan anak-anak ndeso yang sesungguhnya. Dan sekali lagi itu tidak nampak di layar televisi. Penggambaran kenyataan yang seperti itulah mungkin yang sedang membayangi pikiranku yang selama ini mungkin sudah tertipu oleh “gambar” yang sekaligus “memberikan gambar” di otakku bahwa India adalah seperti itu.



Gambar di film, di satu sisi aku padukan dengan “gambar” yang juga telah aku peroleh melalui logika dan fakta-fakta statistik (yang mestinya bisa mengurangi kekagetanku), bahwa India pun sama dengan negara berkembang lainnya yang juga mempunyai penduduk miskin. Dan dalam jumlahnya bahkan lebih banyak daripada Indonesia (mengingat jumlah penduduk India juga besar). Fakta tentang adanya Muhammad Yunus dengan Grameen Bank nya juga telah menjadi inspirasi tersendiri bagiku dalam melihat realitas sesungguhnya, atau minimal sebagai shock breaker pada saat berhadapan langsung dengan alam India. Yaitu sebuah fakta bahwa glamour dan hedonis di satu sisi, namun miskin dan terbelakang di sisi yang lainnya, dengan cara yang sangat ekstrim

Belakangan ini India pun terkenal dengan kemajuan industri IT nya karena banyak perusahaan IT dunia “mempercayakan” beberapa pekerjaan pada orang-orang India dan membangun jaringan industrinya di sana. Sebut saja IBM, Microsoft yang kemudian memicu potensi-potensi lokal untuk mengembangkan bisnis IT. Sehingga hari ini India mulai disegani sebagai raksasa baru dalam dunia bisnis khususnya di Asia. Selain IT, juga berkembang perusahaan ritail seperti Tata, dan Mahindra-mahindra. Sukses India di bisnis IT dimulai dari banyaknya “orderan” dari Amerika. Dan amerika meng outsource kan pekerjaannya kepada India dengan satu alasan simple, bahasa. Ya rata-rata orang India memang bisa berbahas Inggris. Tidak mengherankan sebab bahasa Inggris memang sudah menjadi second languange bagi masyarakat India pada umumnya (meskipun dengan logat India yang kental..acha..acha). Dan jika diramalkan ke depan, kemajuan India mungkin akan dimulai dan ditopang di sektor ini, IT, Information & Technologi.

Namun tetap saja, kemajuan ini justru menampakkan kesenjangan pada saat yang sama. Dalam fakta yang aku alami, ironi ini pada akhirnya memang muncul, entah sebagai kekagetan maupun sebagai sebuah kewajaran, namun aku menyaksikannya sendiri. Setidaknya itu aku lihat pada saat perjalanan darat 6 jam dari New Delhi ke Agra. Semestinya aku sudah harus menyadari bahwa perjalanan kali ini akan melewati beberapa daerah dan mungkin kota kecil yang sudah pasti kita sedang melewati daerah urban alias kampung dari India, so judgement tidak selayaknya ditujukan dalam rangka perolok-olokan. Namun kenyataannya aku tetap tidak bisa berpikir jernih untuk sekedar melakukan rasionalisasi terhadap prediksi akan pengalaman empiris dalam melihat kira dan kanan sepanjang jalan.

Aku masih terhenyak menyaksikan bahwa ternyata keadaan yang aku lihat lebih buruk daripada yang aku bayangkan. Hampir 80% daerah yang aku lewati boleh dibilang kumuh dan berdebu. Di kanan dan kiri jalan banyak aku lihat orang-orang berlalu lalang, sebagian melihat kepada rombongan kami, yang dalam benak mereka pasti berkata, “ini orang asing”, ini turis. Mereka rata-rata mengenakan pakaian lengan panjang, baju dimasukkan, dengan celana kain persis seperti orang-orang Indonesia tahun 80-an. Sebagian yang lain (masih dengan pakaian yang sama) mengayuh sepeda onthel (yang di jakarta biasa digunakan sebagai ojek sepeda). Dan jumlahnya banyak. Sepedanya pun jarang yang bagus. Satu transportasi yang juga banyak digunakan adalah bajaj (bemo alias becak motor beroda tiga, bukan bajaj merek motor lho ya). Hampir mirip dengan bajaj di jakarta, hanya saja volumenya lebih besar, sehingga bisa memuat lebih banyak penumpang. Sebagian penumpang menghadap ke belakang. Pemandangan lain yang bisa didapati adalah wanita-wanita yang mengenakan kain sari. Jumlah wanita yang berlalu lalang di jalanan lebih sedikit daripada jumlah lak-lakinya. Dan jumlah mereka yang tua lebih banyak daripada yang muda. Lalu dimanakah mereka yang mirip-mirip, seumuran dan sekelas sosial dengan Kajol? Ya, tentu saja saya tidak akan mendapatinya. Karena sekali lagi yang sedang dilewati adalah kampung. Kajol dan kawan-kawan pasti ada di Mumbay, tempatnya artis-artis Bollywood nongkrong dan banyak kita saksikan di layar kaca kita di Indonesia.

Kekumuhan situasi tidak hanya sampai di situ. Hampir semua tempat berdebu. Sebagian besar bangunan (kuno) retak-retak. Jarang didapati bangunan bagus. Banyak pedagang kaki lima menggelar dagangan kelontongnya dengan beralaskan terpal-terpal. Sebagian besar menjual umbi-umbian dan pisang. Oia, buah pisang cukup banyak ditemui di sana. Beberapa yang lainnya terlihat menjual beraneka ragam gorengan, dan kue India (aku tau dari menu di Singapura Airlines pada saat berangkat, aku sempat memilih Indian Selection Food, dan di sana ada Indian Bread, ya semacam kue tapi dari tepung doank, tanpa isi selai atau lainnya). Dan konon mereka sehari-hari tidak mengkosumsi nasi, namun memakan kue itu. Hampir mirip dengan kue maryam yang dikonsumsi oleh masyarakat arab di perkampunganya. Nah, yang lebih mengejutkan lagi adalah, adanya tumpukan (yang mirip dgn kue tadi), namun berwana coklat tua, berjajar di jalanan. Taukah anda apakah itu? Ternyata kotoran sapi. Ya, sapi di sana memang cukup banyak. Rata-rata sapi berwarna coklat kehitaman. Diantara penggembala sapi yang aku temui, mereka hanya mengenakan kain, tanpa penutup badan (tentu saja laki2 lho..hehehe).

Yah, begitulah gambaran perjalanan sepanjang lebih kurang 250 km yang melewati beberapa kota di India. Setelah menempuh perjalanan panjang tersebut akhirnya sampailah kita di hotel tempat penyelenggaraan konvensi. Oia, aku ke India bersama rombongan dalam rangka tugas kantor, ada konvensi QCC se Asia Oceania. Pesertanya dari negara-negara Asia dan Oceania. Tapi ada juga wakil dari UK, USA, Canada dan beberapa negara Eropa lain. Mungkin mereka mengalami pengalaman seperti aku juga kali yah? Dan, inilah pemandangan ironi kedua. Setelah sepanjang perjalanan itu aku disuguhkan dengan keadaan kumuh dan kurang terawatnya lingkungan dan manusianya, akhirnya satu pemandangan kontras nampak lagi. Hotel Jaypee Palace yang ada di kota Agra adalah sebuah hotel bintang 5 yang cukup megah dan luas. Mengapa harus kaget? Bukankah di Indonesia juga banyak? Ya tentu saja, namun begitu dekatnya keadaan kontras yang aku alami yang membuatku kaget. Hanya berjarak dan berbataskan pintu gerbang yang tinggi, di satu sisi megah dan mewah, namun di sisi yang lainnya kumuh dan tidak terawat. Memang di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia juga aku yakin ada, namun kondisi mencoloknya tidak seekstrim di sini.. Begitu masuk hotel, rasanya bukan kelegaan yang muncul namun justru makin seseg rasanya karena di luar sana aku tahu banyak sekali orang yang tidak beruntung, bahkan sebagai penduduk lokal mereka belum tentu pernah masuk ke hotel ini (karena pengamanan satpam yang bersenjata laras panjang, memang cukup ketat).

Konon ini merupakan salah satu ciri dari negara yang sedang berkembang, dimana perbedaan antara kelas bawah dengan kelas atas begitu kentara. Perbedaan antara bos dengan bawahan begitu lebar jurang pemisahnya. Mungkin ini bagian dari ciri yang dimitoskan tersebut. Saya menduga juga sebagian disebabkan karena mentalitas tuan tanah dan mentalitas budak, yang memang entah sengaja atau tidak, telah menjadi warisan kolonialisme Inggris di India. Dan hingga saat ini bukti itu masih nampak di depan mata. Sebuah cerita tentang perusahaan besar sekelas Pantaloon ritel pun terjangkiti virus yang sama. Dimana dia membangun ‘istana’ yang begitu tertutup rapat, dimana karyawan yang bekerja di sana mendapatkan fasilitas yang luar biasa. Sebuah kompleks yang tidak hanya bisa disebut sebagai sebuah perkantoran namun juga “one stop living”. Ada tempat hiburan, foodcourt, shopping centre, kolam renang, dsb. Namun dibalik pagar tingginya, di luar sana, hanya berjarak beberapa meter dari situ, kemiskinan adalah “view” pilihan yang disajikan.

Jika melihat kecenderungannya, barangkali memang di India banyak kontradiksi dan ironi semacam itu. Tapi ini baru dugaan berdasarkan pengalaman empiris, dan masih tanpa eksplorasi..

Bagaimanapun bentuknya, kemungkinan besar aku juga baru saja mengunjungi tempat asal leluhur kita (jika itu benar). Karena aku orang jawa, mbahku juga, dan mbahnya mbah mbah mbah ke sanaaaa lagi, sampe jamannya majapahit ya konon berasal dari India. Tentu saja cerita Mahabharata dan Ramayana yang merupakan babad besar di Indonesia masih saja merupakan ciptaan dari nenek moyang kita di India bukan? Jadi, selain kemungkinan mbahku adalah pendatang dari China Selatan, ya mungkin saja aku masih keturunan dari Arjuna dari Astina..hehe..

Comments

Popular Posts