Saatnya Berpose

Kalau kita amati di jalan-jalan mulai dari jalan protokol hingga jalan-jalan kampung, sekarang ini tentu anda akan mendapati “foto orang2 yang (mungkin) tidak anda kenal, bersanding dengan foto2 orang yang (mungkin) anda kenal seperti SBY, Jusuf kalla, Megawati, Wiranto, dsb. Kadang-kadang geli, lucu, sebel, bahkan muak kalo lihat foto2 itu terus menerus. Kalo gak dilihat??? Kayaknya pasti kelihatan deh, kan posternya gede-gede, spanduknya juga mencolok. Jadi pasti orang bakal notice gambar2 itu.


Yang bikin sebel adalah, kita gak pernah kenal orang itu.. Ketemu pun belum pernah. Nongol di TV juga mungkin jarang. Aksi nyatanya juga tidak kelihatan. Selama ini pekerjaannya apa juga kita tidak tahu. Istrinya berapa? Keluarganya bagaimana? Anaknya berapa? Pernah korupsi atau tidak? Dulu kuliah dimana? (bukan gelarnya lho.. sebab kalo gelar biasanya panjang dan dipajang, meskipun kita gak tahu lulusan mana orang itu). Masih dengan banyaknya pertanyaan di benak kita itu, lantas tiba-tiba kita dihadapkan pada pose2 kaku mereka seolah-oleh hendak mengajak berkenalan namun tidak simpatik. Dan tentu saja tujuan mereka satu; hendak mengajak kita untuk memilihnya menjadi caleg, baik di DPRD maupun DPR.

Secara logika sih masuk akal. Sistem demokrasi dan regulasinya memang membuat iklim nascistik ini tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Dengan sistem demokrasi perwakilan yang dianut, serta adanya peraturan bahwa caleg yang mendapatkan suara terbanyaklah yang akan bisa duduk di kursi DPR/DPRD sesuai dengan kuota yang diperoleh partainya masing-masing tentu saja. Konstelasi semacam ini membuat orang berlomba-lomba sebisa mungkin untuk lebih banyak dipilih oleh konstituennya. Namun hal ini pulalah yang membuat mereka menjadi berlebihan demi sebuah niat “agar lebih terkenal dan dipilih oleh masyarakat”. Dan, bagaimana supaya lebih dikenal? Tentu dengan memperkenalkan diri. Bagaimana cara memperkenalkan diri? Tentu saja dengan menunjukkan identitasnya? Bagaimana cara menunjukkan identitas? Tentu dengan menampilkan profilnya? Kalo dia bukan orang terkenal, gimana? Tentu dengan mendompleng popularitas. Bisa dengan nempel ke “tokoh yg lebih terkenal”, atau menegaskan identitas keturunannya. Pada akhirnya semua media yang dianggap bisa mendekatkan diri dengan masyarakat akan diambil, demi bisa duduk menjadi anggota dewan yang terhormat. Tapi kadang-kadang banyak yang norak.. lihatlah contoh2 iklan caleg berikut ini:

kadang tidak masuk akal.

Tapi begitulah kenyataannya. Tokoh terkenal biasanya tokoh nasional atau calon presiden dari partai itu. Tapi bisa juga siapa aja yang ada “hubungan dengannya” dan sudah lebih terkenal duluan. Tak ada tokoh politik terkenal, anaknya yang sudah jadi artis pun jadilah..haha.. .Atau lihat caleg dari jawa barat ini, ati2 lho, beliau masih keturunan Prabu Siliwangi yang terkenal itu..hehehe.. so what gitu loooocchhhh...????!!!. Kata orang surabaya, cek nggilani reeekk...!!! (berdoa: semoga kita dilindungi oleh yang Maha Kuasa agar suatu saat nanti tidak menjadi orang yang “nggilani” seperti ini, hanya demi mendapatkan kursi DPR/DPRD..amiiin) .

Dalam iklim demokrasi yang ada sekarang ini, perilaku mereka mungkin bukan anomali. Boleh jadi malah mainstream alias jamak dilakukan oleh hampir sebagian caleg. Sah secara hukum, meskipun bikin kantong mereka juga jadi lebih tipis, karena mau tidak mau harus berlomba mencetak spanduk, poster dan media lain, sebanyak-banyaknya jika tidak mau kalah dengan caleg lain. Tapi buat saya (dan mungkin banyak orang lain), hal ini rasanya sia-sia dan membuat rasa skeptisisme mencapai tingkat saturasinya. Masyarakat butuh makan! Pengangguran butuh kerja! Butuh pelayanan publik yang lebih baik; anti pungli. Butuh harga-harga sembako turun! Butuh gaji PNS naik! Butuh harga pupuk menjadi murah! Butuh harga-harga barang2 di luar BBM turun! Bukan butuh poster2 norak caleg-caleg itu..!!!!

Saya melihat ada problem ketidakpercayaan terhadap institusi dewan selama ini. Anggota dewan kita selama ini memiliki image yang buruk dengan segala perilaku mereka yang terekam di media, baik dalam sidang, maupun di luar sidang. Lihatlah bagaimana terungkapnya kasus-kasus korupsi di tubuh wakil rakyat ini. Belum lagi studi banding ke luar negeri yang tanpa hasil yang jelas , dan hanya mengharmbur-hamburkan uang negara. Atau dengan terungkapnya skandal seks beberapa oknum anggota dewan. Atau adanya mafia-mafia undang-undang (baca: kalo mau undang2 disyahkan harus ada uang). Atau dengan perilaku mereka yang selalu minta tambahan fasilitas, padahal gaji mereka sudah jauh lebih besar dari rata2 penghasilan masyarakat. Bagaimana masyarakat mau percaya dengan mereka bila keadaan anggota dewan seperti itu?

Dan di tengah2 situasi ketidakpercayaan ini, tiba-tiba bermunculan para calon-calon orang yang akan menjadi anggota dewan, menawarkan janji-janji manis pada masyarakat, dan seolah-olah berkata”ayo pilih saya, biar saya bisa dapet semua fasilitas sebagai anggota dewan. Enak lho jadi anggota dewan!”. Apakah hal ini tidak membuat kita jadi muak.. Situasinya tidak pas. Ibarat seorang anak yang mau minta uang pada orangtuanya, sementara orangtuanya sedang tidak punya uang. Persis seperti itulah perilaku calon anggota dewan ini. Di saat rakyat masih berjuang untuk memenuhi kehidupannya, anggota dewan ini malah memamerkan “kekayaannya” dengan mencetak poster dan spanduk banyak-banyak.

Wajar jika jumlah golput sekarang ini semakin meningkat dari satu pilkada ke pilkada yang lain. Bahkan di beberapa tempat justru golput “menang” jika dibandingkan dengan “pemenang” itu sendiri. Dengan jumlah golput yang lebih banyak daripada pemenang, berarti pemerintahan calon terpilih kurang lebitimasinya. Jika kurang legitimasinya, pada gilirannya akan memunculkan pembangkangan sosial, yang muaranya tentu saja pada ketidakpercayaan masyarakat dengan para pemimpinnya. Golput di era sekarang ini menjadi sangat “seksi” di mata masyarakat. Karena sudah lebih banyak golput ideologis saat ini. Tidak seperti golput pada jamannya Arif Budiman, yang mana orang masih malu-malu kucing atau bahkan takut untuk menjadi golput, karena memang hukuman sosialnya sangat mengancam. Kini, golput adalah pilihan logis, rasional, dan wajar. Apalagi dengan perilaku calon2 wakil rakyat ataupun calon pemimpin yang lebih suka unjuk penampilan daripada untuk kerja.

Jika anda orang Islam, kegiatan di atas mestinya sudah melanggar salah satu prinsip dalam etika kepemimpinan Islam, yaitu “janganlah memilih pemimpin yang ingin menjadi pemimpin”. Maka pemimpin itu dipilih, bukan menawarkan diri. Calon wakil rakyat itu dipilih, bukan menawarkan diri untuk dipilih.

Tapi bagaimana orang mau memilih jika tidak kenal siapa dia? Di situ letak permasalahannya. Seseorang dikenal tidak hanya karena dia memperkenalkan diri dengan gencar ke semua orang dengan berbagai media. Tapi orang bisa dikenal karena sepak terjangnya di masyarakat memang dikenal. Jika dia akan menjadi caleg DPRD tingkat II, maka paling tidak sepak terjangnya mestinya sudah harus dikenal di masyarakat kabupaten tersebut. Jika dia caleg DPRD tingkat 1, maka dia juga seharusnya mempunyai track record yang baik di tingkat provinsi. Dan tentu saja anggota DPR RI, mestinya adalah orang-orang yang secara nasional berkontribusi nyata dalam menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia. Jadi, bukannya memaksakan diri “untuk dikenal”. Namun memang sudah seharusnya yang terpilih menjadi wakil rakyat adalah mereka yang sudah “dikenal kiprahnya” oleh masyarakat. Dan irosnisnya, sebenarnya banyak orang-orang yang seperti ini. Orang-orang yang tanpa mereka memajang foto2 maupun gelar pun sudah bisa mengakui sepak terjang orang-orang ini. Sebut saja siapa tak kenal Profesor Yohanes Surya dengan inovasi fisikanya. Atau siapa tak kenal Garin Nugroho. Atau mungkin Prof Arief Rahman dengan kemajuan konsep pendidikannya. Kemanakah mereka? Barangkali mereka malu menjadi wakil rakyat, karena realitasnya wakil rakyat yang ada tidak bisa mewakili rakyat, tapi hanya bisa mewakili dirinya sendiri demi puncak karirnya maupun demi kelompoknya. Mereka, orang-orang yang baik itu, lebih suka menjalani sepak terjangnya secara nyata daripada memaksakan diri menjadi calon wakil rakyat. Mengaku membela rakyat, namun justru yang terpikir bagaimana supaya bisa lekas balik modal, dan bisa jalan-jalan ke luar negeri.

Buat saya secara pribadi. Saya tidak akan memilih orang yang tidak saya kenal kiprahnya. Memperkenalkan diri bagi mereka yang belum terkenal tentu sah-sah saja. Mayoritas konstituen kita memang belum melek teknologi. Sehingga direct sales dengan cara memajang poster masih merupakan cara-cara konvensional yang paling diminati oleh mereka (meskipun merusak pemandangan). Sah, wajar, lumrah, lazim, ...tapi maaf, selama tidak ada bukti jangan harap kita pilih anda..

Buat para caleg, semoga dapat merenungkan kembali niat anda semua. Dan coba pikirkan kembali kompetensi serta tujuan anda untuk menjadi caleg, agar tidak mengecewakan rakyat. Tanyakan saja pada hati kecil anda, apakah saya ini layak mewakili rakyat? Apakah saya ini sudah benar-benar ikhlas mengabdi pada rakyat dan negara ini? Ataukah saya hanya ingin mengejar karir pribadi dan memperkaya diri? Jawabannya hanya anda yang tau.. atau tanyakan saja pada rumput yang bergoyang..du du du duuu... ;p [jakarta/13jan09].

Comments

Popular Posts