Meraih Asap Menggantung Air

Beberapa waktu yang lalu aku kedatangan seorang kawan lama dari Surabaya. Dia menginap di kos karena akan ada interview di salah satu perusahaan consumer good di Kawasan Pulogadung. Sebut saja War (bukan nama sebenarnya). Dia adalah pemuda asli Surabaya, yang semenjak lahir hingga lulus kuliah belum pernah meninggalkan Surabaya. Dan nampaknya banyak pemuda yang setipe dengannya di Surabaya. Sebuah budaya dari masyarakat yang hidup di daerah yang beranjak menjadi “kota”. Infrastruktur ada, tempat sekolah lengkap, kampus cukup memadai, lapangan kerja pun relative terbuka. Jadilah banyak pemuda surabaya tidak menjadi perantau. Namun kali ini nampaknya War akan mematahkan mitos itu.


Karena kedatangan tamu, maka aku pun bermaksud untuk menjamunya dengan lebih baik, termasuk masalah makan. Kebetulan ini bulan puasa, jadi aku pengen yang terbaik untuk buka dan sahur. Pukul 2.30 aku sudah terbangun dan membangunkan dia.

”Ayo war, cari sahur!”.Dengan masih kecapekan, war pun memenuhi ajakanku. Mungkin karena sungkan jadi tamu, jadi dia tidak menolak ajakanku.

“Kita sahur dimana?” tanyaku kemudian.

“waduh gak tau her, terserah kamu deh!” jawab war dengan polosnya.

Aku sebenarnya menyadari kalau pertanyaan itu juga basa-basi, dan aku tau juga kalau dia pasti akan menjawab demikian, karena memang tidak tau jakarta.

Kemudian kita pun mulai berkeliling dengan sepeda motor. Sambil di perjalanan sesekali kutanyai dia lagi, “pengen yang ada kuahnya, apa yang kering war?”.. Dengan ragu-ragu, kali ini war menjawab juga, “mmm...yang ada kuahnya juga boleh, soto her”..

“ooh..iya kita cari deh..”jawabku

“Soto betawi juga boleh, kayaknya enak tuh..di Surabaya jarang”. Sahutnya kemudian.

Wah, war sudah mulai mengutarakan keinginan, padahal aku gak tau dimana ada soto betawi jam segini. Tapi demi keinginan dan harapan untuk memenuhi keinginannya, maka aku pun terus mencari-cari. Terlebih lagi, ketika hati sudah terpikat dengan Soto Betawi, dan sudah membayangkan lezatnya kuah dan dagingnya, maka terbitlah air liur di mulut ini terus menerus, tiada hentinya. Seolah tak terbendung lagi. ”Oke war, kita cari..” jawabku mantab.

Sudah kulewati kedai demi kedai, warung demi warung, namun yang namanya soto betawi masih belum ketemu juga. Ini levelnya sudah lebih tinggi. Seandainya keinginannya hanya masakan yang berkuah, tentunya tidak susah untuk menemuinya. Sepanjang perjalanan pun kami sudah mendapatinya sebenernya. Tapi memang susah bener mencari yang namanya Soto Betawi dini hari begini.

Setelah berkeliling-keliling selama 1 jam, nampaknya standar keinginan pun mulai turun kembali.

“Ya sudah lah, gak usah soto betawi, yang penting berkuah”. Ternyata turunnya level “soto betawi”, bukan ke “soto”, namun ke “yang berkuah”. Wah itu artinya, harus mencari masakan yang berkuah, yang selevel dengan Soto Betawi, bukan sekedar soto2 yang ada di pinggir jalan itu.

“Oke deh, kita cari..”

Setengah jam kemudian, ternyata masakan berkuah sekelas soto betawi itu tak kunjung pula ditemukan. Maka mulailah kita menurunkan standarnya lagi.

“ya udah deh, apa saja ah yang penting enak dan bersih..



Setelah beberapa saat akhirnya kita melihat sebuah warung, ada satu depot bertuliskan, “masakan sunda, TETEH”. Aku pun mulai melajukan sepeda motorku pelan dan mulai memarkirnya. Sudah ada beberapa orang di depot itu, dan kami pun masuk. Namun apa yang ditemui, ternyata tidak sesuai dengan bayangan kami akan masakan sunda yang beraneka ragam. Ternyata warung itu adalah WARTE. Hanya brandingnya menggunakan icon Sunda. Padalah penjaga warungnya pun berbahasa Jawa, oalaaahhh.. War nampaknya kurang berselera. Begitu pun dengan aku

Dengan berat hati kami pun pergi meninggalkan masakan sunda “gadungan” itu.

“War sekarang jam berapa?” tanyaku.

“hampir jam 4 her. Imsaknya jam berapa? Tanya War kemudian.

“Waduh, jam 4 lebih 10 war, gimana ini?”

Akhirnya aku teringat di sebelah kosku ada warung nasi, yang cukup bersih dan makanannya beragam. Setiap hari juga aku pun sebenarnya juga sahur di sana.

“War, sahur di deket kosan aja yuk, ada warung yang enak kok”. Ajakku.

“Ya sudah” War pun mengiyakan.



Aku pun akhirnya memacu sepeda motorku kencang, karena jalanan sepi, dan aku optimis dalam 10 menit pasti sudah sampai..

Benar juga, kurang dari 10 menit kita sudah sampai di depan Pintu Gerbang KODAMAR.

“hhh..sampai juga war”, meskipun tubuh menggigil karena kita lupa gak bawa jaket.

Pelan-pelan motor kupacu mendekati warung di dekat kosan yang aku maksudkan..

Dari jauh sudah nampak olehku warung nasi itu. Namun ada sesuatu yang janggal. Biasanya antrean di warung itu sudah nampak dari radius 20 meter, saking banyaknya yang mau beli. Dan dia buka dari jam 1 malem hingga subuh. Namun kali ini kok adem-ayem saja yah..

Tanpa ba bi bu..aku pun menarik gas agar cepat sampai..

Dan begitu sampai..Ternyata... hampir tutuuuuuppp..Ibu empunya warung sudah mulai mengemasi nasi dan sayur..

“Mau sarapan mas? Gak Puasa hari ini?” tanya ibu warung..

“Lhah, emang sudah subuh bu?” tanyaku was-was...

“Belum sih, tapi kurang sedikit lagi imsak..”

“sok atuh, beri kami nasi bu..

Akhirnya ibu itu pun mulai memberikan nasi. Namun lauknya pun sudah tidak seberagam tadi. Hanya ada sayur, dan tahu..plus teh. Padahal biasanya masakannya cukup beragam, mulai dari ayam goyeng, ayam kecap, ayam sayur, sayur gudeg, mie goyeng, tahu, tempe, ikan, daging semur, telur, rendang, hingga perkedel ikan. Namun yang tersisa hanyalah kenangan..

Akhirnya, dengan ngebut karena dalam hitungan detik imsak, dan dalam hitungan menit sudah shubuh, kami pun memacu proses makan kami

Dan beberapa menit kemudian adzan subuh pun berkumandang.



Kami pun cuma cengengesan jika mengingat perjalanan panjang malem dini hari itu..Niat hati memenuhi hasrat akan soto betawi, tapi akhirnya, makan di tempat sehari-hari, sudah habis-habisan pula.

Kadang manusia memang punya keinginan yang harus dipenuhi, dan tanpa sadar menjadi kurang bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki atau dialami. Dengan hawa nafsunya, manusia berusaha mencari dan memenuhi semua keinginannya. Padahal kita tahu, bahwa semua ada batasnya. Jika saja kita bisa bersyukur dengan apa-apa yang kita miliki, maka sebenarnya kenikmatan akan kita peroleh.

Tentu saja tidak salah kita memiliki keinginan tertentu. Namun kita harus selalu memperhatikan batasan-batasan tingkat keterpenuhannya. Mengidamkan Soto Betawi untuk sahur tentu tidak salah, tapi harus diingat bahwa Sahur itu ada batas waktunya. Begitu pula dengan hidup. Ingat dan fokuslah pada TUJUAN KEHIDUPAN yang sesungguhnya. Seringkali orang lupa darimana kita berada dan hendak kemana kita selanjutnya. Berakhirnya waktu sahur ibarat kematian yang siap menghentikan langkah kita. Manfaatkan kehidupan ini untuk memenuhi tujuan hidup sebagai pengabdian kita kepada Tuhan. Jangan selalu terlenakan untuk mencari “Soto Betawi” dunia. Tapi fokuslah kepada tujuan akhir kehidupan kita. Syukurilah semua yang telah Tuhan berikan kepada kita. Jika kita bersyukur maka Tuhan pasti akan menambahkan nikmat kepada kita, namun jika kita berlaku sebaliknya, maka pasti akan ada akibatnya. Jangan sampai kita kecewa dan menyesal karena tidak mendapatkan apa-apa di dunia ini [heriwe].

Comments

Popular Posts