Ramadhan di Televisi

Bulan ramadhan telah datang. Semua umat Islam menyambut gembira kedatangan bulan mulia ini. Tidak terkecuali muslim di Indonesia. Mulai dari anak kecil, remaja, orang dewasa, hingga orang tua, berlomba-lomba untuk menyemarakkan ramadhan ini dengan caranya masing-masing. Karena konon ibadah di bulan ini pahalanya dilipatgandakan. Kebaikan di bulan ini diplipatgandakan, bahkan tidur pun diberikan pahala tersendiri, bagi yang meniatkannya untuk memperkuat ibadah.




Bahkan semaraknya ramadhan ini juga bukan hanya menjadi monopoli dari manusia sebagai subjek ibadah ritualis ramadhan. Semenjak beberapa tahun terakhir ini, televisi pun mulai berlomba untuk menayangkan tayangan-tayangan yang mendukung ramadhan. Semenjak setengah dasawarsa yang lalu, saat kran kebebasan pers mulai dibuka, seiring dengan bertambahnya jumlah stasiun TV swasta, maka semenjak itulah televisi menjalankan peran media di bulan ramadhan. Dimulai dengan munculnya sinetron-sinetron religius, siraman rohani, iklan-iklan yang berbau ramadhan dan idul fitri, hingga acara khas yang menemani buka dan sahur. Banyak artis pun menangguk rejeki yang tidak kalah sedikitnya dibandingkan dengan bulan-bulan biasanya. Bulan ini memang bulan baik, yang membawa kebaikan bagi sesama.



Setelah saya amati, adanya tradisi budaya visual di Indonesia (baca: menonton televisi), ternyata juga berpengaruh terhadap pola hidup dari kebanyakan masyarakat kita. Jauh sebelum ramadhan pun sebenernya hal ini sudah terjadi. Banyak orang di negeri ini yang kecanduan dengan Sinetron, iya kan? Mungkin anda salah satunya. Dan akhir-akhir ini karena nampaknya dagangan yang paling laku adalah sinetron yang berbau mistis religius. Yang gambaran ceritanya sebagian besar menunjukkan orang mati dengan tidak wajar, kemudian dengan alur flasback melihat ke kehidupan dia sebelum meninggal. Rupanya masyarakat kita cukup menikmati.



Lantas bagaimana dengan tayangan di bulan Ramadhan ini? Tentu saja, menurut saya, ada yang positif ada pula yang negatif. Yang paling kelihatan berbeda dari hari-hari biasanya tentu saja tayangan sahur yang ada di televisi. Mungkin hanya di Indonesia hal ini ada. Kadang saya berpikir, tidak semua tayangan sahur itu memiliki unsur pendidikan yang baik. Bayangkan, sepertiga malam terakhir yang mestinya digunakan untuk tilawah, sholat, ataupun witir (bagi yang belum), dan juga digunakan untuk bersahur, justru digunakan (oleh sebagian televisi) untuk berhura-hura dan bercanda ria. Sehingga, ramadhan sepertinya adalah sebuah perayaan saja. Ada ramadhan berarti ada acara ramadhan. Dan sebagian besar televisi menanyangkan acara-acara dengan konsep humor plus hiburan, disertai dengan kuis. Dan baru diakhiri dengan sedikit taushiyah. Dari sekian banyak, televisi yang ada, mungkin hanya Metro TV yang tayangannya cukup baik, meskipun tidak populis (karena mungkin jarang dilihat). Di metro TV ada tafsir Al Misbah, oleh Quraish Shihab. Sementara yg lain, lihatlah: di Trans TV dan TV7 ada kerajaan Sahur yang digawangi Komeng dkk. Di SCTV ada Sana Sini Sahur, dengan sederet pendukugnnya kelik pelipur lara, tiruan AA Gym, Kiwil, dan juga ada bencong yang berjudul Mimi (san ndak sembuh2) dll. Di RCTI ada Stasiun ramadhan bersama Eko, Ulfa dan Parto. Hampir semua menggunakan konsep yang sama, yaitu hiburan.



Mungkin acara-acara tersebut ada manfaatnya, menghibur bagi yang sahur, dan memberi keuntungan pada televisi, dan tentu saja pada artis-artis yang terlibat di dalamnya. Namun bagi saya hadirnya tayangan tersebut telah mengganti sebagian budaya umat Islam, menjadi budaya yang hedonis. Kalau dulu sebelum sahur kita tilawah dan dzikir, mungkin sekarang kita lebih asyik nonton Komeng dkk. Mungkin bagi mereka yang telah bertahun-tahun mengalami ramadhan dengan berbagai situasi, akan bisa merasakan perbedaan yang mencolok tersebut.



Dan yang paling membuat saya males dan mules ngeliat itu, kalo pas kuis..

Gak mutu blas..pertanyaannya bener2 tidak bermutu. Hanya beberapa stasiun yang masih menanyakan pertanyaan seputar pengetahuan agama. Tapi lihatlah pertanyaan-pertanyaan seperti: “siapa nama bapaknya Parto?” itu kan hiburan yang tidak mendidik. Dan hanya dengan pertanyaan seperti itu, siapapun yang telponnya bisa masuk di acara itu pasti dapet duit. Sungguh wajah dari budaya materialis hedonis yang kini sudah menggejala di kalangan pertelevisian kita, dan tentu saja media harus disalahkan dalam hal ini..



Buat saya, tayangan yang demikian sungguh mengurangi makna ramadhan..



Mungkin ada yang bilang, ya sudah gak usah ngeliat televisi klo gitu. Lho nggak bisa dunk. Zetgeist orang hidup di jaman ini adalah era komunikasi. Tidak melihat televisi, berarti secara otomatis akan menjadi warga negara kelas dua. Tapi di sisi lain, jika melihat televisi, juga harus siap dengan gempuran budaya yang demikian. dimana mungkin para agen budaya tersebut (baca: para artis) pun tidak sadar jika dirinya menjadi korban dari cultural change tersebut. Yang kita harapkan (saya denk), ketika sahur dan buka kita bisa ditemani dengan sesuatu yang menyejukkan, menambah pengetahuan, ataupun menambah keimanan kita. Bukannya menghabiskan energi kita untuk terbahak-bahak dan mencari peruntungan rejeki dengan ikutan kuis.



Apakah tayangan yang menyejukkan tidak ada? Jawabannya adalah ada. Tapi tidak ditayangkan di prime time dimana orang sedang rame2nya sahur, tapi ditayangkan pasca shubuh dimana orang (sudah terlanjur punya kebiasaan) tidur.

Jadi...Yah..gak tau deh..terserah anda menyikapinya

Comments

Popular Posts