Integritas & Sopir Bison

Orang bilang bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan oleh karena tidak adanya kemauan yang besar untuk sukses. Bahkan mungkin dunia mengakui bahwa kita mempunyai Need of Achievement yang rendah, sehingga dengannya kultur yang tebangun adalah budaya pasrah, nrima ing pandum. Budaya inilah yang kemudian ditengarai menjadi penyebab begitu mudahnya bangsa ini ‘digilir’ oleh bangsa yag secara luas wilayah boleh dikatakan sebagai bangsa gurem; Belanda dan Jepang. Itu pulalah barangkali yang menjadi tuduhan bahwa prestasi olah raga kita selalu jeblok di dunia internasional. Itu pulalah barangkali yang menjadikan korupsi di negara kita makin tumbuh subur, nepotisme makin meraja lela dan kolusi semakin membabi buta. Orang hanya ingin jalan pintas anpa mau bersusah-susah untuk berusaha.


Jika saya orang Indonesia, maka saya akan sangat malu untuk mendengarkan persangkaan-persangkaan di atas. Betapa tidak, kuping ini pasti akan menjadi panas dan rasanya hendak menampar saja. Akan tetapi apa daya, untuk menampar pun kita butuh senjata, semetara kita tidak punya senjata itu. Terlebih lagi saat makian itu mereka wujudkan dengan bahasa yang tidak kita mengerti, bahasa pop culture. Kita dibiasakan dengan musik dan film, kita diakrabkan dengan dunia glamour dan fashion; padahal sebenarnya kita sedang ditampar dan dihina, karena sesungguhnya hari ini kita tidak mendapatkan apa-apa dari mereka. Sekedar mendapatkan kesenangan semu yang bagi kita sebenarnya telah diseret kepada budaya konsumerisme , hedonisme dan semua itu berakar pada satu ide, materialisme. Lihatlah anak muda kita yang sekarang mulai bisa bilang ‘kagak gaul lo, kalo kagak ngedrugs’.

Selain itu kita dijajah dengan hutang luas negeri yang terus bertumpuk dan semakin memojokkan posisi tawar ekonomi kita di mata dunia. Hasil tambang kita begitu mudah dikeruk oleh perusahaan multinasional dengan kontrak selama 150 tahun, tiga turunan. Namun siapa yang bisa disalahkan jika ternyata-menurut penuturan seorang kawan yang bekerja di sana-bangsa kita lah yang goblok, punya hasil tambang tapi tidak mampu untuk mengelolanya. Tidak salah bukan jika perusahaan luar negeri yang mampu mengesksploitasinya (dengan caranya sendiri tentu saja). Disamping itu masalah hutang luar negeri, konon bahkan hutang luar negeri kita ini tidak habis dibayar oleh cucu kita selama tiga generasi. Jika sudah demikian apa yang akan kita banggakan sebagai bangsa ini di kemudian hari?

Lantas apa hubungan antara kemalasan kita dengan pop culture, apa pula hubugannya dengan eksploitasi tambang, dan apa pula hubungannya dengan prestasi oleh raga yang jeblok? Saya mencoba untuk sedikit memaksakan itu dalam rangkaian tulisan ini. Dan menurut saya, tidaklah terlalu memaksa jika kita mencoba membongkar semuanya. Bagi saya semua serba terkait karena semua ini adalah masalah kita sebagai warga bangsa ini. Maju mundurnya kita sebagai bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakatnya bertingkah laku.



KISAH SOPIR BISON

Ini sebuah kisah dari pedalaman Trenggalek, dimana orang harus menempuh perjalanan selama tujuh jam (dari Surabaya) untuk dapat menggapai tempat yang maha indah ini. Kami naik bis dari Surabaya dan turun di Trenggalek. Setelah menginap sau malam di rumah salah seorang teman di sana. Setelah melepas lelah, pagi harinya kami berangkat menuju ke tempat tujuan kami, Pantai Pelang. “Mau ke Pelang ya, mobil ini cuma sampai ke Terminal Panggul, tapi kami bisa ngantar sampai ke pantai, .....nambah seribu ya mas!” Begitu kata sopir bison yang berkumis tebal itu. Lantas sopir dan kernetnya yang gondrong itu mulai menaikkan barang-barang kami.

Dua jam perjalanan dengan ditemani dengan pemandangan di sisi kiri dan kanan yang sungguh menunjukkan betapa bodohnya kita karena tidak bisa menikmati segala keindahan yang sudah diciptakan Tuhan untuk kita. Di sela perjalanan saya hanya berharap bahwa tempat ini tidak atau belum dieksploitasi oleh penjajah yang tidak bertanggungjawab, entah itu bernama modernisme atau yang berkedok turisme sekalipun. Jalan yang berliku dan berkelok semakin membuat suasana perjalanan menjadi lebih seru. Di tengah-tengah perjalanan beberapa kali sopir dan kernet itu menurunkan dan menaikkan penumpang. “nang, ndi kang? ......... Mriki nopo, Bu?............Sing ngatos-atos nggih.............(Ke mana, Kang?....................Sini ya, Bu?................Hati-hati, ya?) Begitulah kata-kata yang terdengar dari mulut awak Bison itu. Dengan segala profesionalitasnya ia melayani para penumpang dimana kehidupan modern mungkin tidak pernah mencatatkan namanya sebagai orang yang layak untuk dihargai: petani, buruh bayaran, guru dan anak sekolah. Tapi awak Bison sungguh-sungguh melayaninya.

Sesampainya di sana, kami diturunkan di sebuah padang rumput yang permai dengan latar pemandangan berupa bukit-bukit yang menghijau. Dan selepas mata memandang kita akan mendapati betapa deburan ombak itu telah menjadi saksi kehidupan mereka di sana. Karang-karang yang tegar setegar idealisme penduduk sekitar untuk menyambut kedatangan kami dan berkarya demi sesuap nasi. “Ini barang-barangnya, mas.......hati-hati, di jalan. ........... Jangan berenang di pantai, bahaya....lewat sini saja mas, lebih cepet.” Begitulah kata-kata yang terlontar dari mulut mereka. Sejenak aku terperanjat mendapati bahwa selama ini aku hanya mengenal kata-kata itu dari orang tuaku saja, bahkan guru atau dosen saja tidak begitu. Belum habis rasa kagetku, mereka kembali menawarkan, “Besok mau dijemput jam berapa?

Akhirnya dengan berbekal kekagetanku, aku menjalani hari-hari yang melelahkan dan sekaligus menyenangkan di Trenggalek. Singkat cerita tiga hari berlalu, dan dengan segala peluh bercucuran, aku dan kawan-kawan bersiap untuk meninggalkan segala keindahan dan kenangan; jagung bakar, ayam bakar, pasir hitam yang lembut, mandi matahari berhimpit kerasnya karang pantai, deburan ombak pasang yang ganas, serta sunset di Pantai Pelang. Mentari mulai naik sepenggalah ketika tiba-tiba muncul sesosok pemuda berambut gondrong dengan kaos hitam datang menghampiri kami yang sedang berkemas. “Mas, ayo.........Ternyata kernet Bison yang kemaren. Tepat jam ½ 10, yang berarti setengah jam sebelum jam 10 pagi sesuai dengan janji mereka tempo hari. Aku kembali tak kuasa menyembunyikan keherananku, terlebih jika aku sadar bahwa mahasiswa di kampus - yang katanya intelektualis - pun tidak bisa seperti itu, baik dalam kuliah maupun dalam menghadiri rapat. Demi apakah mereka melakukan semua itu? Segala kebaikan yang mereka curahkan kepada kami, saya yakin bukan karena mereka naksir salah satu dari kami (lha wong lanang kabeh, kok), atau pula bukan karena uang, sebab apalah artinya Rp. 1000, 00 dibandingkan dengan kelelahan mereka mengendarai dan mengendalikan Bison di medan yang berat itu.



SEBUAH HIKMAH DAN ANALISA

Jika kita mau menggunakan teori hikmah, tentu ada banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran. Namun dalam hal ini saya ingin menggunakan kesempatakn ini untuk sekedar menganalisa apa yang dilakukan oleh sopir dan kernet bison itu kepada kami. Karena barangkali segala kekagumanku saja tidak cukup untuk menceritakan apa sesungguhnya yang menjadikan motif bagi kerangka perilaku mereka, segala keramahan mereka dan keikhlasan mereka untuk menemani kami dan menjadikan liburan ini menjadi sangat sempurna dengan pelayanan mereka yang prima (tidak seperti para birokrat kita).

Jika dikaitkan dengan kemalasan bangsa Indonesia, saya yakin bahwa mereka bukan orang-orang yang malas. Pertama saya tidak setuju sejak awal jika dikatakan orang Indonesia itu gagal dikarenakan kemalasannya. Lihatlah bagaimana para pedagang gula Di Gunung Kidul telah mulai memikul dagangannya dengan berangkat dari rumah menuju ke jogja mulia jam tiga pagi dan baru pulang petang harinya. Lihatlah bagaimana sopir bison tadi dengan segala integritasnya berusaha untuk menjamu kami yang bukan siapa-siapa. Lihatlah para nelayan yang setia untuk datang mengarung deburan ombak dan kembali tepat pada waktunya demi berkebulnya asap dapur. Masihkah disangkal bahwa orang Indonsedia itu tidak mempunyai n-ach yang tinggi. Saya menduga bahwa sopir bison pasti menghendaki penumpang yang selalu bertambah tiap harinya. Bukankah itu sebuah prestasi. Saya juga yakin bahwa nelayan itu berjharap mendapatkan ikan sebanyak banyaknya, dan kalo bisa hari ini lebih baik daripada kemaren. Dan itu adalah prestasi? Lantas dimana kesalahan mereka sehingga mereka dan 200 juta penduduk Indonesia yang lain, sebagai negara ketiga dikatakan sebagai orang yang malas, hanya dengan sedikit indikator, kemiskinan. Ya, rata-rata mereka memang masih berkubang dalam kemiskinan.

Saya menduga yang terjadi adalah sebuah konsep pembodohan yang dilakukan secara struktural sehingga memunculkan kemiskinan struktural. Dimana di dalamnya ada banyak varian yang terjadi di luar dari dunia mereka. Ada yang namanya korupsi masal-struktural, ada yang namanya pembodohan masal-struktural, ada pula yang namanya kebodohan masal-struktural. Siapa yang melakukan penipuan dan siapa yang di tipu. Yang paling bertanggungjawab memang pemerintah dalam hal ini. Namun dengan embel-embel struktural semuanya pada akhirnya pun kena. Kasus penambangan emas yang dilakukan oleh PT Freeport merupakan salah satu contoh dari kebodohan struktural yang dilakukan bahkan oleh pemerintah sendiri, yang dengannya menjadikan bumi papua dieksploitasi oleh bangsa asing. Masyarakat papua barangkali tidak sedikitpun menikmati, namun barangkali justru hanya memakan akibat darinya, seperti halnya kasus PT Newmont di Buyat. Kebodohan siapa jika masyarakat yang sebegitu rajinnya, keberadaannya dimiskinkan oleh sistem yang ternyata ‘cukup bodoh’ untuk mengaku sebagai sebuah negara , Indonesia.

Contoh konkret lain tentang bejatnya prestasi oleh raga kita, tidak bisa dipungkiri ada pula andil kebobrokan pengelaola di dalamnya. Bagaimana bisa maju persepakbolaan kita (misalnya) jika korupsi di tubuh PSSI terus dilakukan. Sehebat apapun pemain kita, jika mereka tidak pernah latihan tanding dengan bangsa lain, maka hanya akan menjadi jago kandang. Sebagus apapun kompetisi kita, jika minim pemain asing yang berkualitas, kita pun akan menganggap diri kita paling hebat dan memincingkan mata sebelah untuk menafikan prestasi yang telah diraih oleh negara lain. Intinya pada hal uang juga, karena uang telah dikorupsi, maka sepakbola tidak bisa maju, karena kita butuh itu.

Saya tidak inigin mengajak sopir bison untuk berdemonstrasi menuntut upah yang sepadan antara integritas mereka dengan upah yang mereka terima. Karena kehidupan dan perilaku mereka sesungguhnya sudah menunjukkan karakter bangsa Indonesia sejati. Namun sekali lagi itu dinodai oleh segelintir (yang kini sudah berubah menjadi segelontor) manusia Indonesia yang katanya menjadi ’penguasa’ negeri ini. Merekalah yang tidak mempunyai etika berperilaku itu, merekalah yang menjadikan kebodohan dan kemalasan stuktural, merekalah yang tidak punya malu untuk menyunat uang rakyat (dan rakyat pun tak tahu jika uang mereka telah dicuri). Hanya himbauan, barangkali ada yang mendengarkan; mungkin integritas sopir bison itu tidak akan berarti apa-apa dihadapan sistem yang korup dan negara yang bejat ini, tapi saya yakin tindakan itulah ruh kebngsaan bangsa kita, dan yang menjadikannya sebagai manusia merdeka. Itu semua akan dicatat di sisinya. Selamat jalan sopir bison; semoga pengorbananmu segera dibalas dengan korupsi penguasa, dan pantai Pelang segera dieksploitasi oleh bangsa lain (karena kita masih hidup di Indonesia). Wallahu a’lam bishowab

Comments

Popular Posts