Tuhan & Reduksi Simbolik Manusia

Beberapa hari terakhir ini, beberapa media khususnya televisi melalui tayangan infotainmennya menayangkan perseteruan yang kental pada nuansa agama. Grup musik Dewa yang digawangi oleh Ahmad Dhani ini, dituduh oleh FPI (Front Pembela Islam) telah menghina Tuhan dan melecehkan umat Islam karena meletakkan lambang (kaligrafi) bertuliskan Allah secara sembarangan. Puncaknya adalah ketika dalam sebuah konser yang dilakukan oleh grup ini, mereka menjadikan logo dalam album barunya tersebut sebagai alas panggung, yang secara otomatis logo tersebut terinjak-injak oleh mereka.

Pihak Dewa, terutama Ahmad Dhani sebenarnya sudah menyatakan minta maaf kepada pihak penggugat dengan menyatakan bahwa hal itu murni kekhilafan, karena mereka kurang mengkomunikasikan hal itu dengan pihak pengelola stage konser. Selain juga pengakuan Dhani bahwa diantara anggota grup yang lain juga memang tidak ada yang mengetahui bahwa logo mereka diambil dari kaligrafi Islam yang bertuliskan asma Allah. Namun pihak FPI tidak begitu saja menerima permintaan mereka itu, karena menurut Rizieq, Dewa tidak perlu meminta maaf kepada FPI, namun meminta maaf kepada umat Islam semua dan menarik logo itu dari peredaran.

Menanggapi hal itu Dhani pun berkomentar, bahwa ia mengambil keputusan untuk menggunakan logo itu berdasarkan ulama yang ia ikuti, Quraish Shihab. Belakangan bahkan ia membawa-bawa nama Gus Dur yang konon juga sepakat dengan apa yang ia lakukan. Ini merupakan dukungan moril yang luar biasa bagi Dhani. Namun di satu sisi ia menambahkan bahwa ia akan menuruti apa kata Quraish Shihab. “Kalau Pak Quraish bilang ditarik, ya saya akan tarik logo itu”, ucapnya. Namun hingga hari ini ternyata belum ada kepastian bagaimana sikap yang diambil oleh Grup musik Dewa. Dalam perkembangan terakhir, FPI mulai menanggapi serius kasus ini dan menguggat dengan membawa pengacara untuk menangani kasus ini dan membawanya ke meja hijau.

Sebenarnya ini bukan hal yang pertama kali terjadi di dunia keartisan Indonesia. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana Inul dengan goyangan ngebornya digugat oleh Rhoma Irama. Goyangan Inul dianggap terlalu vulgar dan mengekspose seksualitas yang tidak sewajarnya. Gugatan ini berujung pada terjadinya gugatan-gugatan lain kepada beberapa artis dangdut yang memanfaatkan moment “pelabelan goyang” untuk sebuah popularitas. Bermunculanlah ratu-ratu goyang baru seperti “ratu goyang ngecor”, “ratu goyang patah-patah”, dan goyang-goyang yang lainnya. Semuanya menuai protes dari isntitusi yang kembali berlabelkan “Islam” dan mengatasnamakan dirinya umat Islam, sehingga mengatakan bahwa perilaku mereka melukai “umat Islam”. Padahal kita tahu bahwa mereka yang dikritik pun semuanya adalah orang Islam. Lalu bagaimana itu bisa terjadi. Yang dikritik berdoa, “Ya, Allah semoga hamba kuat menerima cobaan ini” (ucapan Inul dalam sebuah infotainment-red), sementara yang mengkritik bilang, ”mereka sudah tidak mengindahkan akhlak Islami (ucapan Rhoma Irama-red) dan melukai hati umat Islam (ucapan Habib Rizieq-red). Tentu saja saya sebagai orang Islam jadi bingung dengan situasi semacam ini.

Kebingungan saya bukanlah suatu hal yang tidak beralasan, mengingat sekarang banyak sekali simbol-simbol yang bermunculan. Kita memang sedang hidup di dunia simbol. Sehingga kita tidak lagi dapat membedakan mana yang simbol, dan manakah yang kita simbolkan. Hampir semua konsep dan esensi hidup, telah direduksi hanya menjadi sebuah simbol. Mulai dari institusi politik, pendidikan, institusi budaya, seni, partai, kegiatan sosial, moralitas bahkan agama, semuanya telah kehilangan maknanya masing-masing hanya karena terjebak ke dalam sistem “simbol” atau tanda.

Unat Islam adalah salah satu umat terbesar yang ada di Indonesia dan mempunyai potensi penyimbolan yang besar dalam aktivitasnya. Masjid Istiqlal adalah sebuah simbol; simbol relijiusitas bangsa Indonesia. MUI adalah simbol; simbol ketegasan syariat umat Islam Indonesia. ICMI adalah simbol; simbol kecerdasan umat. Jilbab adalah simbol; simbol kesalehan muslimah. HMI adalah simbol; simbol aktivitas mahasiswa Islam. Aa Gym adalah simbol; simbol umat Islam yang penuh dengan kebersihan hati. FPI adalah simbol; simbol ketegasan Islam terhadap kemungkaran. Itulah beberapa penyimbolan yang pada awalnya berpretensi positif. Dengan simbol diharapkan kita bisa memahami esensi sebaik kita mengangung-agungkan simbol.

Namun pada kenyataannya lebih banyak orang yang suka untuk mengotak-atik simbol daripada memahami dan menjalankan esensinya. Tentu sayang sekali jika tidak pernah terjadi pemahaman terhadap sesama pemuja simbol. FPI yang punya simbol “ketegasan Islam” dengan Dhani Dewa yang punye simbol (secara material) berupa logo Allah untuk menunjukkan “relijiusitas band”nya. Tentu adalah sebuah kebodohan jika kita semua tidak pernah saling memahami. Pada akhirnya keberadaan simbol hanyalah menjadi sarana bagi kepentingan yang lebih luas lagi, komoditas materialis an-sich. Maka kembali lagi esensi yang telah direduksi oleh simbol tersebut, direduksi dan dipermainkan kembali dengan ‘uang’ sebagai pusat sengketa. Kebodohan umat yang sungguh akan dipertanggungjawabkan karena ketidakmauan untuk belajar memahami situasi dan kontekstualitas medan.

Pertanyaannya, bisakah kita hidup dengan melepaskan simbol-simbol yang kita bawa? Bagi saya rasanya itu tidak mungkin. Tapi cukup dengan kita sadar dengan fungsi simbol, kiranya kita mampu untuk menempatkan posisi simbol sebagaimana mestinya, bukan sebagai esensi yang mesti diperjuangkan dengan segala kebodohannya. Mungkin Tuhan pun malu jika melihat umatnya memperdebatkan simbol nama-Nya, sementara mereka malah melupakan kewajiban terhadap-Nya. Malu,....pasti malu sekali...

Wallahu a’lam (heriwe).

Comments

Popular Posts