Budaya Berintegritas

Hari-hari terakhir publik marak disajikan berita tentang Alif, seorang siswa SD yang “dipaksa” memberikan contekan saat ujian nasional. Bahkan disinyalir urusan contek mencontek ini sistemik, karena menurut pengakuan Alif ada simulasi terlebih dahulu sebelum ujian berlangsung. Karena bertentangan dengan hati nuraninya, akhirnya Alif dan Ibunya melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak yang berwenang. Namun anehnya, mereka justru diusir dari rumahnya oleh warga karena dianggap mencemarkan nama baik. Nama baik yang mana? Entahlah.

Kisah di atas adalah pembelajaran yang sangat baik bagi kita untuk introspeksi diri. Nalar yang sehat akan menilai bahwa tindakan warga adalah salah, dan Alif adalah benar. Namun sadarkah kita, bahwa mungkin saja akibat tuntutan KPI dan target yang harus di achieve membuat sebagian kita bertoleransi dengan kejujuran, demi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Padahal integritas itu adalah absolute, tidak bisa “berkurang sedikit”, ataupun “berubah sedikit”. Kejujuran adalah perkara “iya” dan “tidak”. Bukan masalah kecil atau besarnya ketidakjujuran kita yang merendahkan martabat diri kita, namun melakukan atau tidaknya yang kita lihat. Karena kejujuran tidak untuk ditawar.

Integritas adalah values yang harus dimiliki oleh karyawan. Ia dibentuk bukan dari perintah atasan. Namun dipupuk dari kesadaran diri setiap individu, yang pada akhirnya menular menjadi budaya kelompok dimana individu tersebut berada. Dalam konteks perusahaan; jika setiap orang memiliki integritas yang baik, maka akan mungkin berdampak pada munculnya budaya integritas yang tinggi di dalam organisasi tersebut. Dan sebaliknya; jika mayoritas individu dalam organisasi berintegritas rendah, maka akan mungkin kita “tertular” budaya itu. Bagaimana ciri-ciri tertular? Dengan anda “memaklumi” penyimpangan yang dilakukan oleh rekan Anda, itu lah salah satu ciri-ciri awal Anda sudah mulai tertular. Jika sudah memaklumi, maka tahap berikutnya Anda akan mendiamkan. Jika Anda sudah mendiamkan, pelan-pelan bisa saja mulai “mencicipi” ketidakjujuran. Inilah awal hancurnya pondasi budaya integritas.

Sistem nilai yang baik tidak dapat ditularkan secara top down. Namun harus dijaga dan dimunculkan bersama. Semacam kontrol sosial dalam organisasi. Dimana satu orang dengan lainnya bisa menjalankan fungsi kontrol tersebut, agar integritas organisasi tetap terjaga. Jika itu gagal dilakukan, maka organisasi akan kehilangan social control yang berimbas pada melemahnya nilai-nilai dalam organisasi. Pada akhirnya, integritas adalah produk budaya. Jika dilakukan terus menerus, berulang-ulang dan semakin diperkuat, maka budaya itu akan terinternalisasi dalam diri individu organisasi. Jika integritas sudah tertanam dalam setiap individu, maka akan sulit digempur dan digoyahkan. Kejujuran nilainya sangat tinggi di mata Tuhan. Kejujuran bukan masalah posisi, namun hati nurani. Nilai baik dari integritas adalah jauh melampaui dari batas-batas sekat organisasi. Ia adalah wujud transendent dari niat baik dan tulus yang pasti dimiliki oleh setiap orang, sebarapa pun besarnya.

Namun kejujuran membutuhkan keberanian. Betapapun jujurnya niat kita, tanpa keberanian maka hanya akan menjadi sumber konflik batin tiada henti. Ada konsekuensi yang mungkin terjadi, seperti Alif dan Ibunya yang diusir oleh tetangganya sendiri. Namun jangan khawatir karena Tuhan lebih tahu, di balik itu masih lebih banyak lagi masyarakat banyak yang mendukungnya. Bagaimanakah dengan kita? Sudah siapkah menularkan menjadi pribadi yang berintegritas dan menularkan virus integritas dalam organisasi kita? Selamat mencoba.

Comments

Popular Posts